Minggu, 20 Februari 2011

yusmar yusuf

Tanpa Jeda
Yusmar Yusuf
RIAUPOS > FEBRUARY 20, 2011

Bak gelombang yang berarak, kekerasan demi kekerasan disangkutkan. Dan setiap orang menaruh harap yang jamak untuk menyudahi. Agama memiliki dua wajah; kedamaian dan penyerbuan. Kedamaian yang menjadi jalan pedang dari semua agama, tak boleh dinista, ditindih oleh tabiat merendah. Ketika itu terjadi, maka wajah agama berubah sontak menjadi sesuatu yang menyerbu, agresif dan ujungnya kekerasan. Dan kekerasan itu jamak dilakukan oleh mayoritas.

Di mana negara? Negara seakan penerjemah yang “gamang”, juga terbelenggu oleh ‘korupsi pemahaman’ mengenai agama. Padahal dalam negara yang mengusung sekularisme seperti Indonesia, negara tidak menganut agama. Negara hanya memiliki “civic religion” (agama warga). Apapun agama dan kepercayaan rakyatnya adalah sama di depan negara. Sehingga tugas negara adalah melayani, merenjis dan menaungi para penganut agama, dan melerai segala bentuk konflik, benturan yang berpotensi terjadi di antara pemeluk agama. Nyatanya, negara kalah dengan kekerasan warga yang berlindung di belakang bendera agama.

Padahal ketika mahasiswa bergerak atau demonstrasi kecil depan istana, aparat yang ditugasi negara tampil menawan dan sempurna, malah terkadang aparat pula yang melakukan kekerasan terhadap mahasiswa demi menegak keadilan, sekaligus untuk menekan keonaran negara. Tapi ketika berdepan dengan organisasi berbasis agama, negara seakan tiada, seakan menghindar dari harapan jamak warga. Negara seakan membiarkan. Dan tabiat ini menjadi sudut lapuk, sehingga negara menjadi sosok yang juga “terbiarkan” (negleted) di depan rakyat. Negara, sebuah kisah abai dan pengabaian. Negara hanya mempertunjukkan kepedulian itu pada aras retorika dan podium. Dan inilah wajah tunggal yang dijinjit oleh negara dalam ihwal penyelesaian naratif mengenai kekerasan yang berulang dari tahun ke tahun.

Kekerasan yang berujung kematian adalah penampakan lapuk sebuah peradaban. Membunuh makhluk hidup, sama halnya membinasakan kehidupan segala makhluk di luar rencana Tuhan. Tabiat ini bergerak liar menjadi liyan (the other) dalam benua monster. Dan dunia menjatuhkan dacing timbangannya kepada tampilan wajah kebudayaan dan peradaban yang mengedepan tradisi kekerasan dalam menyelesaikan segala persoalan, bukan dialog. Tradisi ini adalah tradisi bangsa tertutup, bangsa yang lapuk, bangsa yang merasa menang sendiri, bangsa yang tak pernah menikmati keragaman sebagai bentangan harmoni mempesona, merdu dan wangi.

Berapa banyak nyawa meregang dan melayang di depan anak-anak yang tak tahu-menahu mengenai “keimanan” orang dewasa. Keimanan dan pengimanan mempersembahkan sisi buruk dan beringasnya di depan kanak-kanak. Sejak kecil anak-anak Indonesia disuguh dengan segala jenjang kekerasan. Kita tak menyediakan laman kepada anak-anak kita menjadi makhluk yang independen, bebas dan merdeka menikmati hidup dalam kuluman nan bahagia. Mereka menjadi sederet anak-anak yang tak mengenal jeda dan interupsi dalam gelombang kekerasan yang berujung kematian atas bapak-bapak mereka di depan mata yang menyalak.

Apakah Tuhan  menjadi bingung? Hehe hehe… Tuhan sudah imun (lali) dengan segala kekerasan dan atau kematian. Dan di mana Tuhan ketika anak-anak tercekam oleh kematian ke atas tubuh bapak-bapak mereka dalam salakan mata dan siutan pedang bak kilat yang menebaskan rasa benci dan dendam? Apakah agama menyisakan kepada umat pemeluknya menjadi pendendam dan menghentakkan kekerasan demi kekerasan sempena melayani Tuhan? Ketika itu, kita bertanya, di manakah Tuhan, saat kita sedang memerlukan? Perlu, demi untuk menyampaikan sebuah kesaksian yang tiada jeda. Dulu perempuan-perempuan Melayu di Nusantara ini diperkosa dan menjadi budak seks oleh serdadu Jepang. Kita hanya bisa menangis pilu dan anak-anak, bapak yang tiada berdaya pun bertanya, “di mana Tuhan ketika tragedi itu terjadi dan berlangsung di depan mata”?

Apakah untuk menyunting “bunga kemuliaan” di puncak nun, kita harus menyelenggarakan kekejian kemanusiaan? Apakah negara dilibatkan secara pasif dan bermuka dua demi melayani syahwat keji untuk sampai ke puncak nun nan tinggi, yang di atas sana bertabur wewangian dan segala aroma surgawi? Apakah pesan-pesan nubuat atau profetik mesti disalurkan dalam kanal-kanal yang anti sosial, anti dialog dan anti kemanusiaan? Seni, selain agama adalah sejumlah kanal yang dihajatkan untuk memperhalus akal budi manusia. Seni, agama bukan untuk dimengerti, tetapi untuk dinikmati sebagai makanan batin. Seni dan agama tak mengenal perhimpunan dan penjumlahan. Bukan perkalian, pengurangan dan penambahan. Dia menghidang garis gaib yang tak terkuak oleh setiap insan. Dan garis gaib itu berada di sempadan hati setiap manusia. Kekejian dan kekerasan apapun yang dilakukan di luar ‘garis gaib’ itu, sesungguhnya makin menjarakkan diri manusia secara pribadi dengan dirinya sendiri. Bahwa garis gaib itu bak benang bening; ada dan tak wujud. Mereka yang menyeberangi ‘garis gaib’ itu dengan damai, sesungguhnya adalah mereka yang merindukan kebijaksanaan memucuk (wise).

Negara tak boleh berhenti. Dia adalah rembulan juga payung yang menaungi ‘garis-garis gaib’ warganya.  Oleh karena itu, negara hanya menganut “civic religion”. Dia tak bisa bersandar kepada penganut yang mayoritas atau minoritas. Dia berada di tengah-tengah tapi bertindak bak kubah yang meneduh. Ketika negara bersembunyi, pada saat itulah kekerasan warga menyeruak dan seolah-olah menggantikan peran negara yang abai. Pada ketika itu pula pengabaian-pengabaian ikutan lahir dalam bentuk penghilangan dan penistaan kemanusiaan, terutama terhadap dunia kanak-kanak. Kita dan negara telah membelah hati, melapuk hati sebuah generasi untuk berperan ceria dalam sulaman kebangsaan. Hati-hati yang remuk, lapuk dan calar, akan melahirkan tradisi yang mengelak dan calar pula.

Apakah kita memang terlahir dari hati bangsa yang berjiwa lapuk sejak gempita pembentukan kebangsaan di awal kemerdekaan? Bahwa agama dan ajaran agama, seakan gagal menyudahi kekerasan manusia terhadap manusia lain. Seakan agama hanya hadir untuk kemaslahatan pemeluknya, dan menjadi bencana bagi mereka yang tak memeluknya. Deretan kebencian manusia Indonesia hari ini, terutama kaum Islam menurut suatu penelitian baru-baru ini adalah kepada Komunisme, Yahudi, Nasrani. Kenapa kebencian ini kian menyulut? Apakah negara ikut memperkeras sulutan itu? Apakah hal ini sebagai reaksi dari tragedi-tragedi negara yang dipertonton setiap saat, terkait perlakuan negara terhadap sempalan Islam garis keras yang terkadang di luar akal sehat; penangkapan dan penembakan ekstremis, yang juga mempertontonkan kekerasan negara dalam bentuk lain, penangkapan dengan mata tertutup, kaki dirantai, tangan diborgol dan kepala ditekan ketika menaiki kendaraan tahanan? Negara juga harus menyudahi tontonan kekerasan itu, jika kita hendak menuai kedamaian hakiki dan menghidangkan kehidupan yang bahagia bagi rakyatnya. Dan kita mendahaga…***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar