Jumat, 11 Februari 2011

tabrani rab

Airmata Duyung
Tabrani Rab
Riaupos > October 24, 2010


Hutan di Riau  ini memang sudah punah ranah. Paling tinggal tak lebih dari 500 ribu Ha, inipun digasak oleh pencuri-pencuri kayu. Hampir 72,3 persen dari tanah Riau dibagi pada perkebunan besar yang meminjam duit dari Bank Indonesia dan termasuk ke dalam kredit BLBI yang tak terbayar sebesar Rp136 triliun.

Dulu di zaman Iman munandar jadi gubernur ada formulir yang isinya dalam dua minggu perkebunan harus sudah diberikan kepada investor termasuk PT ADEI yang dimiliki oleh Asrul Harahap dan yang kemudian di jual kepada Malaysia. “Mana hutan yang dialokasikan untuk Asrul?”, kata Imam Munandar kepada Agraria Riau. Karena sang Agraria lama menjawab maka Imam Munandar pun mengambil cap dan dengan dengan jari telunjuknya mencap “Ini untuk Pak Asrul” kebetulan saya masih dalam ruangan gubernur. Alangkah kagetnya saya bahwa yang diberikan Imam Munandar itu daerah yang paling asli dari Sakai yaitu Penaso. Ketika PT ADEI dijual kepada Malaysia dan kuburan-kuburan Sakai akan dieskavator maka saya pun memberikan 200 parang panjang kepada Sakai dan memerintahkan bakar saja eskavator mereka. Berkali-kali saya diundang Konsul Malaysia untuk menyelesaikan tanah ini. Tetapi kekuasaan juga yang menang. Pokoknya orang Sakai jadi terpinggirkan di Desa Pinggir. Ini berulang lagi pada Lim Sie Liong dengan PT Salim Group yang disiapkan Soeripto 500 ribu Ha.

Bagaiman pula nasib orang-orang Melayu yang tinggal di sepanjang sungai di Riau? Maka tiap hari pula kita mendengarkan beribu ikan mati terapung dari Sungai Kampar juga di Sungai Siak. Jelas-jelas klorin penyebabnya tapi dari pemerintah sekadar nasehatlah kepada perusahaan. Sementara nelayan yang menangkap di Sungai Siak tak lagi dapat mengharapkan hidup dari ikan. Pokoknya bila rezeki Riau di atas minyak dan di bawah minyak, ini untuk Jakartalah, untuk penduduk setempat ya kurok ditambah dengan segala limbah yang menghancurkan hidup mereka.

Apa hak ulayat diakui? Kata Undang-undang Pokok Agraria yang tiap tahun diperingati itu ada, kata pemerintah yang mengeluarkan HGU itu tak ada. Inilah kerja saya tiap hari, dari kebun satu ke kebun lainnya. Pidato menyatakan hak ini adalah hak rakyat tapi kalau sudah datang baju hijau pembeking entah tentara entah tidak menangkap penduduk setempat, sekali lagi pula ke kantor polisi untuk membebaskan orang Melayu yang kena tangkap. Saya kira paling sedikit 10 kali saya datang ke Pengadilan Bangkinang untuk menyatakan tanah itu adalah tanah ulayat tapi hakimnya ketuk palu “takkk...” Tak ada milik Melayu lagi do, habislah sudah.

Di acara puncak 50 tahun Agraria Nasional di Istana Negara, Bogor, Jawa Barat, Kamis (21/10/2010) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menitikkan air mata saat memberikan sambutan. Apa pasal? Presiden terharu karena sekira 5.141 keluarga di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah mendapatkan tanah dari negara untuk lahan pertanian. “Agar rakyat jadi tuan tanah di negeri sendiri, menjadi tuan yang memiliki air dan bumi yang ada kekayaan alam didalamnya,” ujar Presiden lantas terdiam sejenak meneteskan air mata dan berdehem. “Maafkan saya. Saya terharu melihat tadi,” katanya lagi. Untuk beberapa detik Presiden terdiam dan setelah bisa menguasai perasaan terharunya, Presiden melanjutkan sambutannya. “Konsitusi kita jelas, konstitusi kita sudah mengatur dengan gamblang bahwa bumi dan air dikuasai negara untuk digunakan oleh rakyat. Saatnya telah tiba bahwa kita sungguh-sungguh mengimplementasikan cita-cita luhur, bahwa rakyat harus mendapatkan akses yang lebih besar, lebih luas, agar kesejahteraan mereka lebih meningkat di negeri ini,” papar dia. Sebelum Presiden memberikan sambutan, Kepala Badan Pertahanan Nasional Joko Winoto memberikan sertifikasi tanah milik negara kepada beberapa perwakilan dari masyarakat Kabupaten Cilacap.

Dalam acara ini diserahkan sertifikat sistem manajemen mutu SNI ISO 9001:2008 dari: Pertama, Lembaga Sertifikasi Internasional PT Mutuagung Lestari Mutu (Mutu Certificatiion International) oleh Direktur Utama PT Mutuagung Lestari Arifin Lambaga, kepada: a. Kantor Wilayah BPN Provinsi DKI Jakarta b. Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Timur c. Kantor Pertanahan Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Kedua, Lembaga Sertifikasi Internasional PT SGS Indonesia oleh Managing Dorector PT SGS Indonesia, Guy Escarfail, kepada: a. Kantor Pertanahan Kota Bandung diwakili oleh A Samad Soemarga, b. Kantor Pertanahan Kota Depok diwakili oleh Syafriman. Ketiga, Lembaga Sertifikasi Internasional PT Tuv Internastional Indonesia oleh Dirut PT Tuv International Indonesia, Muh Bascharul Asana kepada Sub Direktorat Bidang Tanah pada Direktorat Penetapan Batas Bidang Tanah dan Ruang, Deputi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah diwakili Djoned Yulianto.
Saya pun teringat kepada rencana Bupati Bengkalis Syamsurizal memberikan bibit kelapa sawit kepada Dompas. Tak mudah do, kelapa sawit ini layu dan tak berkembang entah pupuknya entah tanahnya, berapalah akan dapat penduduk kalau ditanam 2 batang kelapa sawit? Betul nenek moyang kita dulu betanam di halaman rumahnya tapi ada jambu bol, rambutan, sekadar untuk makan sendirilah. Kalau kelapa sawit haruslah dalam skala besar.

Selamat 50 tahun Agraria Nasional. Masih ada secercah harapan untuk petani. Paling tidak menjadi sebuah impian, dan selama masih ada impian selama itu pula ada harapan. Namun dibalik itu kehidupan rakyat banyak yang telah kehabisan hutan dan kebagian limbah, inilah yang harus kita renungkan. Saya pun teringat cerita Heri Haerudin, warga Dusun Watubara, Desa Mukusaki, Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur yang berhasil menangkap ikan langka jenis duyung. Konon ikan itu memiliki susu, rambut, pusar, jari tangan dan jenis kelamin layaknya jenis kelamin wanita. Bahkan pada malam hari ikan itu sempat meneteskan air mata. Air mata ikan duyung ini dipercaya memiliki khasiat untuk usaha dan kehidupan. Bagaimana dengan airmata presiden? “Tak tahulahhh”.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar