Jumat, 11 Februari 2011

tabrani rab

Datang dan Meradang     
Tabrani Rab
Riaupos > November 7, 2010

“Trangg”.”teng”.”teng” Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan, sayang engkau tak duduk disampingku kawan, banyak cerita yang mestinya engkau saksikan di tanah kering bebatuan, ohh “ohhh” tubuhku terguncang dihempas batu jalanan, tapi tergetar menambah kering rerumputan, perjalanan ini pun serti jadi saksi, gembala kecil menangis sedih, oh”ohh” kawan coba dengar apa jawabnya ketika ia kutanya mengapa, bapak ibunya telah lama mati, ditelan bencana tanah ini. Sesampainya di laut kukabarkan semua, kepada karang, kepada ombak, kepada matahari, tetapi semua diam, tetapi semua bisu tinggallah kusendiri terpaku menatap langit. Barangkali di sana ada jawabnya, kenapa di tanahku terjadi bencana, mungkin Tuhan mulai bosan, melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita, coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang?.

Alangkah sedihnya kita yang selalu mendengar negeri ini dilanda oleh banjir, gempa, tsunami dan meletusnya gunung berapi. Nasib negeri inilah kalau tidak dihadang oleh korupsi, ya oleh gempa bumilah. Apa nak dicakap.  Diawali dari bencana Tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 yang menelan korban ratusan ribu orang meninggal, belum termasuk orang hilang, luka-luka dan kerusakan harta benda serta berbagai sarana dan fasilitas. Bencana gempa dahsyat di atas 7 skala richter di Sumatera Barat tahun 2009, yang bukan hanya mematikan sejumlah manusia tapi juga memporak-porandakan beberapa kota, terutama kota Padang sebagai ibu kota provinsi. Lalu disusul oleh berbagai bencana alam lain, baik berskala kecil, sedang maupun besar. Hingga ke bencana alam Wasior, Mentawai dan Merapi yang terjadi hampir pada saat yang bersamaan. Kecamatan Wasior di Papua Barat, diterjang longsor dan banjir bandang. Kepulauan Mentawai di Sumatera Barat, diguncang gempa dahsyat dan dihantam tsunami. Gunung Merapi di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Jogjakarta, meletus berulang kali hingga memuntahkan asap/awan dan lahar “super” panas serta debu tebal.

Alam pun kini bukan sekadar tidak bersahabat lagi, namun sudah terkesan tidak berperikemanusiaan. Cuaca ekstrem yang tidak tahu dan tidak memberitahukan kapan dan akan kemana (di mana) datangnya, membuat manusia tidak sempat untuk bisa mengantisipasi. Kecuali hanya bisa pasrah dan berusaha menyelamatkan diri masing-masing dari amarah alam. Termasuk Mbah Maridjan si “roso-roso” yang populer dan kontroversial, sang penjaga Gunung Merapi, turut menjadi korban. Menghembuskan nafas terakhirnya karena diterjang lahar panas yang dimuntahkan letusan dahsyat Gunung Merapi.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pagi ini menuju Mentawai guna melihat kondisi di sana. SBY dan Ibu Negara Hj Ani Bambang Yudhoyono dijadwalkan berangkat pukul 09.00 WIB ke Kecamatan Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai dengan menggunakan dua helikopter Puma. Tiba-tiba SBY mendapat pelukan dari seorang ibu korban tsunami Mentawai. “Iya bapak, saya ini beginilah (sambil menangis). Kami berkumpul dengan teman-teman di sini”. Sambil menangis, para warga korban tsunami mengaku kehilangan keluarga dan harta bendanya. Dia juga mengatakan memang menunggu kedatangan Presiden dan bantuan dari pihak luar. SBY pun berusaha menenangkan warga yang semakin menangis ini. Suasana semakin sedih, air mata SBY membasahi pipinya. Ibu Ani Yudhoyono yang melihat hal itupun lalu menyerahkan selembar sapu tangan kepada suaminya. SBY kemudian menyeka air matanya dengan sapu tangan tersebut. “Siapa lagi yang kehilangan?,” tanya SBY. Tampak  suasana haru ini dalam rangkuman foto SBY dengan korban tsunami. SBYpun menanyakan di mana keluarga, di mana kampung dan banyak pertanyaan lagi. Tampak air mata SBY meleleh. Lalu surat kabar pun menulis “Air mata SBY meleleh”.
SBY pun melanjutkan perjalanan lagi ke Padang dan ke Jakarta. SBY menyatakan akan menunggu kedatangan PM Australia Julia Gillard di Istana Negara. Tak banyak yang dibincangkan dengan PM Australia ini. Dan tren TV selanjutnya presiden melanjutkan perjalanan dari Jakarta ke Jogjakarta. Tak banyak yang ditayangkan televisi kecuali presiden beramah-tamah dengan korban merapi. Presiden dan Ibu ikut makan malam bersama di Merapi, sambil  disuguhkan makan malam. Tampak bungkus nasi yang kecil dan bila dibuka nasi ini rupanya sudah dikasih kuah.

Langsung presiden bilang “Kok bungkusnya kecil, rasanya masih kurang untuk makan malam”. Tampak para menteri tertawa. Pukul 3 pesawat presiden  sudah meninggalkan Jogjakarta. Suasana merapi makin ramai. Surono selaku Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kementrian ESDM segera mengumumkan bukannya merapi bertambah tenang tapi makin gelap gulita. Surono menyebut letusan kali ini sebagai kejadian istimewa. Alasannya, letusan kali ini tiga kali lebih besar dibandingkan letusan pertama. “Ini istimewa, lebih besar dibandingkan dengan (letusan) tanggal 26 lalu,” ujarnya. 1.20 menit dari jam 3 pemandangan di merapi gelap gulita. Lampu listrik pun tak bisa dihidupkan. Betul-betul gelap gulita sampai lewat dari pukul 6. Bahkan Surono menambahkan jarak aman untuk merapi berubah dari 10 Km menjadi 15 Km.

Wartawan posko merapi diminta untuk turun lebih jauh dan berita yang disampaikannya terpaksa dipotong. Hingga Jumat pagi pengungsi mencapai 77 ribu jiwa. Dikira dengan kedatangan SBY akan membawa kedamaian untuk merapi. Tapi justru sebaliknya, empat kali dihitung titik kegelapan merapi makin meradang. Keadaan inipun terus berlanjut sampai malamnya dalam kepanikan warga dan merapi makin menjadi-jadi.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar