Minggu, 20 Februari 2011

chaidir

Filosofi Sungai
Chaidir
RIAUPOS > FEBRUARY 21, 2011

Dua kali Drs Achmad memenangkan pemilihan Bupati Rokan Hulu, dua kali pula ia bersama tim suksesnya melakukan selebrasi terjun ke Batang Lubuh, anak Batang Rokan, yang membelah ibu kota Rokan Hulu, Pasirpengaraian. Tentu basah kuyup.
Selebrasi itu manusiawi, sama seperti ketika Gonzales atau Irfan Bachdim mencetak gol, mereka berlari menengadah sambil satu jari mengacung ke langit dan tangan kanan memegang garuda di dada kiri.

Atau seperti selebrasi Christiano Ronaldo, berteriak histeris, mulut dan kedua tangannya seakan mau menerkam. Tak ada yang melarang. Namanya juga orang yang sedang dilanda kegembiraan luar biasa.

Tapi sesungguhnya, selebrasi nyebur ke sungai itu, bisa dipoles dengan aksentuasi filosofis, bahwa secara tak sengaja  dan tentu tak disadari sebenarnya ada nuansa simbolistik budaya sungai dalam selebrasi tersebut.

Riau sudah ditadirkan dialiri empat sungai besar yang merupakan urat nadi kehidupan masyarakatnya. Ada Batang Rokan, Sungai Siak, Sungai Kampar dan Sungai Indragiri. Keempat sungai ini berhulu di kaki Bukit Barisan, meliuk-liuk membelah hutan, gunung dan kampung, kemudian bermuara di Selat Melaka.

Puluhan anak-anak sungai entah anak kandung atau anak tiri bermuara ke rahim empat sungai besar tersebut, termasuklah Batang Lubuh yang membelah kota Pasirpengaraian itu.

Asal mula masyarakat di rantau ini, tinggal di tepi-tepi sungai dan berkembang dari kehidupan sungai. Sungai menjadi jalur transportasi, sebagai air minum, mandi, cuci, bahkan juga kakus. Sungai juga berperan penting dalam arus perdagangan.

Karena itu sungai membentuk tata nilai dan artifak-artifak budaya kehidupan. Interaksi masyarakat yang hidup di tepian sungai telah membentuk masyarakat yang berbudaya sungai sebagai pribadi yang terbuka, dan cepat beradaptasi dalam berbagai situasi dan kondisi. Masyarakat juga mafhum terhadap dinamika, karena masyarakat sungai menyadari bahasa alam, sekali datang banjir sekali tepian berubah.

Taufiq Suryo menulis dalam blognya (30/10/2009), mengapa sungai mempunyai banyak belokan untuk mencapai muara; berbelok-belok, mengitari pematang, melintasi bukit? Karena sungai ingin berbagi teman, ia tahu banyak sekali rezim-rezim hidrologi yang harus ia lewati hingga dapat membentuk aliran air tawar yang bermanfaat bagi kehidupan alam, karena itu, buat apa cepat-cepat kembali ke laut yang asin?

Hemat saya, filosofi sungai yang ditulis Taufiq Suryo sangat menyentuh, tapi itu baru sebagian. Masih panjang bila hendak diuraikan satu persatu, betapa misalnya, sungai tak akan putus dipancung pedang, betapa rendah hatinya sungai, ia tidak mencari kursi di singgasana yang tinggi, tetapi mencari tempat di bawah-bawah, bahkan tak keberatan menempati tempat yang paling rendah.

Mengapa kita tidak kembali mencintai sungai? Bukankah sungai dengan airnya yang sejuk, menyucikan raga dan jiwa? Sungai tak pernah ingkar janji, senantiasa mengalir dari mata airnya. Sungai tetap sabar, kendati kesuciannya selalu dizolimi manusia.

Maka, selebrasi nyebur ke sungai, bolehlah ditiru oleh penguasa terpilih lainnya yang memerintah di tepi sungai. Yang dipinggir laut nyebur ke laut. Anggaplah simbol penyucian untuk tidak mengotori diri dengan korupsi, selalu rendah hati dan tekad  untuk selalu komit terhadap janji sosialisasi, persis filosofi sungai itu.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar