Minggu, 13 Februari 2011

angpao

Angpao
Yusrin Lie
© 2008 Harian Analisa. All rights reserved

Angpao, amplop merah berisi uang, sebuah tradisi Tionghoa yang diwariskan leluhurku, masih dilaksanakan oleh kami, peranakan Tionghoa, sampai hari ini. Dalam acara pernikahan, ulang tahun, mengayunkan bayi satu bulan, perayaaan Imlek dan acara-acara lainnya, semuanya memerlukan angpao.

Angpao merupakan primadona, yang harus di bawa dalam berbagai perhelatan. Pernah suatu kali, keluargaku bersama keluarga kakakku, pergi ke suatu undangan ulang tahun kerabat dekat dari pihak ibu. Kakakku lupa membawa Angpao, amplop berwarna merah. Kami terpaksa mencarinya di sepanjang perjalanan menuju rumah yang mengundang kami. Kebetulan, rumah kerabat yang menyelenggarakan pesta, bukan di daerah pecinan.

Kami pontang-panting, kesulitan untuk mendapatkan amplop berwarna merah itu. Untunglah, setelah mencari-cari, masih ada sebuah angpao lusuh yang tercecer di dashboard mobil. Imlek sudah di ambang pintu. Keluarga kami sibuk sekali menjelang perayaan Imlek tahun ini. Terutama istriku, sibuk membersihkan rumah. Menjolok sarang laba-laba yang tergantung di atas langit-langit. Mengecat ruang tamu agar kelihatan lebih baru. Segala yang bersih, melambangkan kesucian dan kemurnian hati, menyambut Imlek.

Seperti kebaikan yang selalu mengalahkan kejahatan. Aku meyakini falsafah bersih-bersih dari nenek moyang kami dulu di Tiongkok adalah sesuatu yang baik dan pantas dilestarikan. Anakku, Christopher, orang paling sibuk dalam menyambut tahun baru imlek kali ini.

Dia bukan sibuk ikut membersihkan rumah. Dia bukan sibuk menanyakan dari mana asal muasalnya datangnya Imlek. Atau mengapa tahun baru Imlek hanya dirayakan oleh peranakan Tionghoa. Da juga tidak menanyakan Imlek itu, sebenarnya hari perayaan apa. Semua tetek-bengek sejarah tahun baru Imlek, cukup disimpan di rak buku saja baginya.

Dia sibuk menghitung berapa jumlah baju baru yang telah dibeli Mamanya. Sesuatu yang membuatku terhenyak, dia mulai menghitung berapa jumlah angpao yang akan diperoleh dari paman-bibi, pakcik-tante, kakek-nenek dan kerabat-kerabat lainnya. Ini sesuatu hal yang paling sensitif dan peka. Angpao!”

“Pa, kupikir tahun ini, jumlah angpaoku akan bertambah dua,” katanya ketika kami sibuk mengecat pekarangan rumah pada hari minggu. “Hmm,” aku mendehem, tidak begitu memperhatikan ucapan anakku, karena tanganku masih berlepotan cat. “Pa, Angpaoku akan bertambah dua, Pa?”

“Imlek belum tiba kok sudah menghitung angpao, Nak,” sahutku tersenyum, seraya menghentikan aktivitas tanganku. “Dari Tante Ah Mei, yang baru menikah tiga bulan lalu, aku akan mendapat tambahan satu Angpao. Kemudian dari Paman Ah Siong yang baru beristri, aku juga akan menerima satu angpao. Eh, eh, salah mungkin aku akan mendapat tambahan tiga.” “Kok tiga, dari mana satu lagi?” tanyaku ingin tahu.

“Papa ini bagaimana sih, Bibi Ah Ling, istri Pakcik Ah siong, pasti akan memberikan aku bonus satu Angpao lagi. Aku yakin, Bibi Ah ling suka sama aku kok,” katanya bangga. “Maunya, kenyataannya… Belum tahu, he he,” kataku mengejeknya. “ Papa payah, Papa payah, pokoknya tiga..,” teriaknya kurang senang. Aku meneruskan kegiatanku mengecat pekarangan yang tinggal sedikit lagi.

Berawal dari keinginan anakku, Chrsitopher, aku isengi dan diamini oleh Mamanya. Kami bertiga ingin menghitung jumlah “hasil perburuan” angpao pada tahun baru Imlek kali ini. Kami sudah mengunjungi rumah kakek-nenek, Pakcik pertama dan pakcik kedua. Bibi pertama, kedua dan ketiga dari pihakku. Aku memiliki enam bersaudara. Tiga orang saudara laki-laki dan dua orang saudara perempuan.

“Pa, aku ingin menghitung jumlah Angpao yang kuterima? Berapa jumlah uang yang kuperoleh? Apakah cukup untuk membeli sebuah Play Station?” tanya anakku, Christopher. Pertanyaan itulah yang memicu kami mengadakan hitung-menghitung laba-rugi. Kebetulan, dalam urusan hitung-menghitung, istriku adalah pakarnya. Dia sarjana ekonomi. Aku serahkan urusan hitung-menghitung kepadanya.

Kami memberikan Angpao kepada Ah kong-Ah ma, sebesar delapan ratus ribu rupiah. Ah kong-Ah ma memberikan angpao kepada anakku, Christopher, sebanyak satu juta rupiah. Dengan demikian satu juta rupiah dikurangi delapan ratus rupiah, sama dengan dua ratus ribu rupiah. Kami untung dua ratus ribu rupiah. “Ini pertanda baik, Pa,” kata istriku gembira. Aku ikut mengamini.

Tahun baru Imlek yang lalu, Ah kong-Ah ma memberikan Angpao kepada anakku sebesar jumlah Angpao yang kami berikan kepadanya. Impas! Tahun ini laba dua ratus ribu rupiah. He he. Pakcik pertama, Pakcik Ah Seng, seorang pedagang sembako, yang terkenal agak pelit. Mudah-mudahan tahun ini, dia akan bermurah hati. Dia mempunyai dua orang anak.

Kami memberinya masing-masing seratus ribu rupiah. Jadi dua orang anak, jumlahnya dua ratus ribu rupiah. “Ayo dibuka Angpao dari Pakcik Ah Seng,”desak istriku.  Aku dan Christopher buru-buru membuka bungkusan merah itu. Dengan hati berdebar-debar kami ingin mengetahui berapa isi Angpao-nya.” “Ya… Cuma seratus ribu rupiah,” seru anakku kecewa.

“Berarti rugi seratus ribu rupiah. Dari Ah kong-Ah ma kita untung dua ratus ribu rupiah. Dari Pakcik Ah Seng rugi seratus ribu rupiah. Jadi dua ratus ribu rupiah dikurangi seratus ribu rupiah sama dengan seratus ribu rupiah. Kita masih untung seratus ribu rupiah. Lumayan,” otak kalkulator istriku bekerja.

Pakcik kedua, Pakcik Ah Siong, seorang dokter, yang satu ini orangnya agak royal. Anaknya satu orang. Kami membungkus sebesar dua ratus ribu rupiah. Dia memberikan angpao kepada Christopher sebesar dua ratus delapan puluh ribu rupiah. Dengan demikian laba delapan puluh ribu rupiah. Seratus ribu rupiah ditambah delapan puluh ribu rupiah, sama dengan dua ratus delapan puluh ribu rupiah. Istrinya, bibi Ah Ling, memberikan seratus ribu rupiah. Bertambah laba sebesar  tiga ratus delapan puluh ribu rupiah.

Dari bibi pertama  perhitungan untung rugi, kami rugi empat ratus ribu rupiah. Karena bibi pertama, bibi Ah phin, anaknya ada lima orang. Suaminya bukan orang kaya. Berati empat ratus ribu rupiah dikurangi tiga ratus delapan puluh ribu rupiah, sama dengan dua puluh ribu rupiah. Dari bibi ketiga, bibi Ah mei, Christopher mendapat seratus ribu rupiah lagi. Masih untung seratus dua puluh ribu rupiah.

Paling menegangkan adalah dari bibi kedua, bibi Ah Fen. Beliau adalah kakakku yang paling kaya. Anaknya ada empat orang. Satu orang masing-masing kami memberikan dua ratus ribu rupiah. Empat orang berarti delapan ratus ribu rupiah. Sekarang posisinya adalah delapan ratu ribu rupiah, dikurangi seratus dua puluh ribu rupiah, sama dengan enam ratus delapan puluh ribu rupiah. Bagaimana nasib Angpao anakku? Ini semua tergantung dari Angpao terakhir yang akan kami buka sebentar lagi.

Bungkusannya tipis, sepertinya kami akan mengalami kerugian tahun ini. Perasaan kami berdebar-debar. Berawal dari iseng-iseng, tetapi sekarang menjadi menegangkan. Harapan kami pesimis sekali.
“Pa, kayaknya kita rugi, tahun depan kita jangan pergi ke rumah  pakcik dan bibi lagi. Ke rumah Ah kong, biar kita untung saja,”kata anakku kecewa. “Hus…,”Aku dan istriku menyahut hampir berbarengan.

“Oh, Thi kong tolonglah kami,dengarkanlah doa kami.” Amplop ini kami buka dengan perlahan. Uff, tidak ada uangnya. Oh… hanya secarik kertas. Kami tarik perlahan kertas tersebut. Di sana terdapat tulisan, “Gong Xi Fa Cai!” Tidak ada tulisan apa-apa lagi. “Aduh, bagaimana ini Thi kong,” pekik kami hampir berbarengan. “Pa, dibelakang ada tulisan lagi,” teriak Christopher.

Kami tergesa-gesa membacanya, bibi hadiahkan sebuah Play station buat Christopher. Hadiahnya dapat diambil di toko Ah Sin, teman Bibi. “Terima Kasih, Thi kong!” seru istriku. “Thanks God!”sahut anakku. “Kamsia Thi pek[3]” teriakku.

Lubuk Pakam, Peb 2011

Catatan:
1. Ah kong-Ah Ma = Kakek-nenek (dialek Hokkien)
2. Thi kong = dewa langit (dialek Hokkien)
3. Thi Pek = Tuhan (dialek Hokkien)
4. Dialek Hokkien banyak dipergunakan Tionghoa Medan, Penang dan Taiwan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar