Jumat, 11 Februari 2011

tabrani rab



Kok Minyak Tanah Makin Tinggi?
Tabrani Rab
Riaupos > October 31, 2010


Di bulan-bulan terakhir ini tak kering-keringnya kita menangisi tanah air. Di kala musim hujan banjir, wabah malaria, muntaber, hancurnya jalan raya, hancurnya perekonomian rakyat karena terendamnya hasil panen, listrik pun kejab hidup kejab mati. Lolongan dahsyatnya akibat gempa dan tsunami yang menelan ratusan nyawa di Mentawai bahkan puluhan nyawa oleh letusan gunung merapi di Jogjakarta, seolah-olah menenggelamkan konflik yang tak berkesudahan dan mengingatkan kita kepada janji Tuhan untuk menurunkan bala ketika umat-umat yang berkonflik ini tak sudah-sudahnya menimpa negara ini.

Ketika saya ke New Delhi tak jauh dari tempat tinggal Perdana Menteri dan masih di komplek Kedutaan Besar adalah jalan namanya “Gatot Subroto”. Saya pun bertanya kepada teman saya dari Banglor “Kenapa namanya Jalan Gatot Subroto?”  Dia menjelaskan, betapa besarnya peranan Indonesia 20 tahun yang lalu terhadap harga minyak OPEC. Itu dulu, waktu Indonesia masih menjadi anggota OPEC dan pengekspor minyak yang dapat menentukan harga minyak dunia.
Bagaimana dengan sekarang? Satu-satunya pemandangan antri minyak tanah yang terpanjang di dunia termasuk di Jakarta sepanjang tembok Cina dengan jatah 3 liter adalah merupakan satu-satunya pemandangan yang aneh di dunia. Apa pasal? Masak kita punya minyak dulu di Riau pernah mencapai 1,1 juta barel, belum lagi di Natuna. Seorang pegawai Exxon memberi tahu kepada saya ketika di Natuna “Minyak tu dibantai inyo inyo Ngah, macam mana kita tak makan hati” Ketika dilaporkan kepada Jusuf Kalla bagi hasil Exxon di Natuna itu apakan tidak saja, maka Yusuf Kallapun jadi terheran-heran.

“Kalau begini tanda-tanda apa ni Ngah?”. Negara ini tak lagi pernah becus mengurus rakyatnya. Kalau negara ini presidennya sudah yang terbaik, SDA-nya cukup sementara orang di Riau sibuk dek mencari minyak tanah dan pipa angguk Caltex terus juga mengangguk apalagi nak dicakap. Entah bacin, entah bero, entah kepunan, entah hidung tak mancung pipi tersorong-sorong, lengkaplah sudah tangisan orang Riau.


Bagaimana produksi minyak di Indonesia? Makin tahun makin mengurang persis seperti PT Bumi Siak Pusako. Dulu 30 ribu barel per hari bahkan waktu Caltex 50 ribu barel per hari, sekarang tinggal 20 ribu barel per hari. Indonesia memiliki ladang minyak bumi sebanyak 150 buah, namun hanya 58 buah di antaranya dalam proses produksi, dengan hasil berkisar 900.000 hingga satu juga barel per hari. Produksi minyak di Indonesia cenderung mengalami penurunan dari 1,3 juta barel per hari menjadi satu juga barel. Bahkan sampai dengan Oktober ekspor minyak per hari hanya 850 ribu barel. Nah, bila rekor tertinggi  dari minyak Riau saja satu juta barel per hari dan waktu lalu sampai dengan 2 juta barel per hari. Dikira Lapindo menghasilkan minyak rupanya lumpur. Maka berbisik-bisik ini pun diteruskan sehingga terdengarlah suara berkurangnya impor BBM ini menimbulkan spekulasi bahwa pasokan BBM  bersubsidi di pasar akan berkurang. Hal ini diperkuat dengan pertanyaan sejumlah pejabat yang mengusulkan agar penjualan premium dibatasi.

“Ngah, kapotang minyak tanah ko onam ribu nyo seliter, kini ko lah lobiah lapan ribu Ngah”, kata Tek Idar yang mengadu kepada saya. Apa kata koran? Harga minyak tanah sudah sangat tinggi. Kalau tetap dipatok dengan harga sedemikian siapa yang sanggup membelinya. Mana harga kebutuhan juga masih tinggi. Kalau sudah seperti ini, dengan apa  akan mencukupi kebutuhan sehari-hari. Program konversi minyak tanah ke gas elpiji 3 kilogram berdampak terhadap melonjaknya harga minyak tanah per liternya di tingkat pengecer. Apalagi dengan mulai ditariknya minyak tanah bersubsisi sebesar 50 persen dari kuota ditetapkan pemerintah serta masih gamangnya masyarakat menggunakan gas tersebut. Konon tingginya harga minyak tanah ini karena adanya dugaan permainan dari beberapa orang. Sebab saat ini masyarakat memang masih enggan memanfaatkan tabung gas 3 kilogram, karena takut. Dengan kondisi tersebut ada yang memanfaatkan ketika warga masih beralih ke minyak tanah, harga dipatok sangat tinggi. Warga Bangkinang Rabiah mengatakan ia harus mengurungkan niatnya untuk membeli minyak tanah, karena harga mitan ditawarkan hingga Rp10.000 per liternya. Harga tersebut terjadi di pasar, saat ini berbelanja harian. Rabiah mengakui dirinya memperoleh paket tabung gas 3 Kg, namun barang tersebut sama sekali tidak dipakainya. Alasannya masih takut dan hanya menjadikan tabung gas tersebut sebagai pajangan didapur. Harga minyak tanah sudah sangat tinggi. Kalau tetap dipatok dengan harga sedemikian siapa yang sanggup membelinya. Mana harga kebutuhan sehari-hari juga masih tinggi. Kalau sudah seperti ini dengan apa saya akan mencukupi kebutuhan sehari-hari. “Tak ada hidup kami lagi do Pak, anak kami banyak untuk bersekolah, tak usahkan beli baju baru, perut saja tak terisi, sebab nak masak pun susah. ho…hoo….hoo, tolonglah Pak”.

Anehnya lagi dalam jumlah angka pengangguran bertambah tentulah angka kemiskinan bertambah pula karena BBM minyak tanah naik dan naik terus. Daerah-daerah di perkampungan yang tadinya sudah miskin makin bertambah miskin. Tentulah karena kemiskinan ini memang dibuat, desa-desa yang tadinya tak tersentuh oleh pembangunan makin miskin. Angka kemiskinan yang makin besar menyebabkan sirnanya cita-cita yang mulia pembangunan desa tak lagi punya makna. Yang jelas apapun program yang dibuat duitnya ditelan oleh korupsi. Tak ada yang mampu mengaudit dari kemajuan desa sekalipun dibuat parlemen desa karena korupsi memang telah menjalar meresap di sendi-sendi desa.

Apa kesimpulannya? Kita ini tambah kaya atau tambah miskin, kok minyak tanah makin mahal? Jawablah sendiri. Yang jelas menarik nafas pun dah susah. Minyak tanah antriannya semakin panjang dan semakin mahal, sebentar memakai gas, sebentar memakai batu bara, mungkin juga pakai arang atau kayu bakar, padahal apakan tidak saja, lantaklah.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar