Sabtu, 12 Februari 2011

bersihar lubis

Membaca Mesir Melirik Cina
Bersihar Lubis
Riaupos > February 5, 2011


Kairo dalam tayangan televisi masa ini mirip dengan suasana Jakarta 1998. Puluhan ribu pengunjuk rasa di Tahrir Square menjerit-jerit menggugat rezim Husni Mubarak mundur.

Suasana ini mengingatkan saya menjelang 21 Mei 1998, ketika Presiden Soeharto turun dari tahtanya atas desakan puluhan ribu mahasiswa yang menguasai kawasan Gedung DPR-MPR RI di Senayan Jakarta.

Saya ingat gelora mahasiswa menceburkan diri ke kolam air mancur di Senayan merayakan pergantian dari Soeharto kepada BJ Habibie. Pekik sorak-sorai reformasi bergemuruh di jalanan, radio, surat kabar dan televisi.

Toh, kemenangan itu bersimbah darah, air mata dan api. Beberapa mahasiswa Trisakti tewas kena peluru aparat. Orang-orang marah, memperkosa gadis tak berdosa, menjarah mal dan pertokoan lalu membakarnya, seperti halnya di Kairo.

Memang belum tahu, apakah Jumat (4 Februari) ini Mubarak sudi turun jabatan. Maklum, pembela Mubarak juga bangkit melawan masyarakat yang anti rezim Mesir itu. Apalagi banyak faksi berbeda di kubu anti-Mubarok, suatu hal yang tak mengental pada Mei 1998 lalu di Jakarta. Jika pun Mubarak mundur mungkin lebih sulit.

Berbeda dengan Jakarta, semenjak unjuk rasa besar mahasiswa pada 12 Mei 1998, sepuluh hari kemudian, Soeharto turun dari jabatan. Tapi harus dicatat bahwa kesalahan Mubarak dan Soeharto sama. Keduanya tidak tahu kapan harus turun dari singgasana sampai badai reformasi berhembus kencang dan memorak-porandakan rezim yang berkuasa sekitar 30-an tahun itu.

Rezim Mubarak juga penuh kolusi, korupsi dan nepotisme, yang hingga kini pun belum bersih dari Indoneia, justru setelah 13 tahun Soeharto turun. Tikai politik juga tak putus sejak era Habibie, Gus Dur, Megawati hingga SBY di awal Tahun Kelinci ini.
Saya masyqul menonton perang antara KPK dan DPR, semoga hanya topan dalam gelas. Tapi seteru dan sekutu politik dalam kasus mafia pajak dan Bank Century bagai api dalam sekam. Mungkin kian merah membara menjelang Pemilu 2014. Berbagai tokoh agama telah berseru tentang Indonesia yang bersih dan damai.

Pemerintah telah bertikhtiar tetapi masih banyak bengkalai. Harga bahan pokok naik, juga BBM walau cabai sedikit mereda. Tapi inflasi menghadang, apalagi krisis pangan akibat perubahan musim masih menghantui.

Barangkali tak ada salahnya jika Indonesia melirik Cina yang unik dalam hal ideologi politik versus perekonomian. Bayangkan, jika negara komunis itu berani menerapkan kapitalisme dan ekonomi pasar yang ditabukan oleh Marxisme. Investor asing datang, bahkan mencapai 100 miliar dolar AS pada 2010, yang tak ada bandingannya  di dunia dewasa ini.

Produk Cina di seluruh dunia rata-rata 30 persen hingga 50 persen lebih rendah dari harga barang negara manpun. Upah di Cina bersaing padu dengan penggunaan teknologi tinggi sehingga biaya produksi menjadi rendah.

Tak heran jika banyak industri di banyak negara bangkrut. Sejumlah perusahaan Amerika Serikat terpaksa merumahkan 2,7 juta buruhnya 10 tahun terakhir.
Defisit neraca perdagangan Amerika terhadap Cina terus menanjak dari waktu ke waktu. Pertumbuhan ekonomi Cina berpenduduk 1,3 miliar jiwa itu rata-rata dua digit, minimal 10 persen. Dengan mematok nilai tukar yuan, Cina membuat Amerika tidak berkutik yang dilanda ledakan pengangguran.

Pelajaran apa gerangan yang bisa dicuplik oleh Indonesia? Syahdan, kemajuan ekonomi, pertahanan, politik, dan teknologi Cina terletak pada kualitas sumber daya manusianya yang berakar dari budaya tradisionalnya.

Salah satunya adalah ajaran Konfusius yang mengajarkan bahwa negara harus dibangun berdasarkan kekeluargaan yang hirarkis dan otokratis.
Pemimpin jadi teladan, dan rakyat mematuhinya. Mirip filosofi berbagai kebudayaan dan peradaban di Indonesia. Bahkan, patung Konfusius berdiri megah di lapangan Tiananmen, yang mengilhami pembangunan di Cina. Dulu di era Revolusi Kebudayaan ala Mao, ajaran Konfusius hendak digusur, tetapi kemudian kembali dinyalakan oleh Deng Xiaoping.

Toh, Konfusiusme sejalan dengan petua (tulis tangan) Mao Zedong bahwa Wei Renmin Fuwu (Mengabdi untuk Rakyat) yang antara lain terpampang di Gedung Zhongnanhui, tempat para pejabat Cina bekerja dan bermukim.

Jadi walaupun investor asing dianggap sebagai tamu terhormat yang dipermudah segala urusannya, tetapi harus mengakomodasi filsafat Wei Renmin Fuwu. Indonesia juga punya filosofi Pancasila dan konstitusi UUD 1945, yang bisa menjadi ruh kemajuan, termasuk sikap terhadap penanam modal asing. Ajaran para leluhur penuh dengan makna sosial, dan bukan individual, yang ujung-ujungnya adalah kesejahteraan rakyat.

Tidak mustahil Indonesia mengikuti jejak Cina dan India sebagai pusat ekonomi dunia. Kapitalisme yang individual sudah terkena tsunami di mana-mana, jadi harus berpadu dengan sosialisme, kepentingan masyarakat. Ini yang selama ini salah kaprah di Indonesia.

Saya merasa proses demokratisasi politik di Indonesia rada overdosis dibanding kemacetan di bidang ekonomi. Panggung politik penuh intrik dan tikai yang menyedot waktu dan energi, program eko-nomi dan penegakan hukum juga agak tersendat.
Terjadi pula sandera-menyandera antarelit dan partai politik yang sangat mahal jika dialihkan ke rupiah. Tahun-tahun berlalu sia-sia tapi pertumbuhan ekonomi bagai jalan di tempat. Saya pikir tiba masanya menghentikan pertikaian politik. Tiba saatnya berbicara dan beraksi di bidang ekonomi. Jika tidak segera banting setir, saya gamang Indonesia terjerumus ke kancah konflik politik, yang bermula pula di Mesir.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar