Minggu, 20 Februari 2011

hasan junus

Nyanyian Senja
Hasan Junus
RIAUPOS > FEBRUARY 20, 2011



Orang yang mencintai belum tentu berbahagia; ia barangkali gayang dirasuk sedih pedih, debar bergelombang datang, berdarah ditikam duka. Berbahagialah orang yang dicintai; jalan laluan dan udara yang dihirupnya bau bunga dan pesona; dia harus berbesar hati karena dirinya dihargai sampai mendekati tingkat abadi.


ENAK atau tidak, begitulah alam mempengaruhi manusia. Enak atau tidak, begitulah hati manusia dipengaruhi oleh keadaan dan kehendak alam. Dalam ideologi lelaki, ia yang mencintai itu bergender maskulin dan dia yang dicintai feminine. Memang ada gambaran terbalik yang diciptakan. Oleh para pengamal feminisme. Silakan!

Kata senja dalam banyak karya sastra sering ditafsirkan oleh para pengamal feminisme, yang tentulah terdiri dari kaum wanita, sebagai sudah berumur. Padahal yang benar kata senja berarti penghujung usia seorang anak manusia. Sehubungan dengan itu, para pengamal feminisme itu biasanya takut pada sang waktu; mereka kira usia muda merupakan jaminan umur panjang dan kecantikan yang bertahan. Dan takut pula pada kekurangan materi; mereka kira materi yang melimpah merupakan jaminan kebahagiaan. Biasanya mereka murka kalau dikatakan bahwa semua itu cuma omong-kosong. Mereka selalu lupa bahwa hidup itu dicecap, dirasakan, dikunyah, dimamah, ditelan, dihayati di sini dan kini, bukan di sana dan nanti. Tepat sekali orang Itali yang mengungkapkan sikap hidup eksistensial dengan mengatakan niente domani yang berarti tak ada hari esok.

Kebijakan purba Orang Melayu jauh lebih arif menafsirkan usia manusia dibandingkan dengan kebanyakan feminis: kelapa jatuh, mumbang pun jatuh. Dan ada pula seorang pengarang di sini yang melukiskan pucuk-pucuk puncak berkinyau hijau yang baru merecup di pagi hari sama indahnya dengan daun-daun kuning yang gugur di waktu senja.

Si tercinta yang mengembara di antara dua dunia, ya dan tidak yang tak tertetapkan, diganggu ragu dan terus bimbang untuk memutuskan, sangatlah berpotensi menjadi orang yang tidak setia. Dia berikan tubuhnya kepada seseorang tapi dia berikan hatinya kepada orang yang lain. Barangkali dia berkata seperti ungkapan seorang penyair Belanda dalam salah-satu sajaknya: Leg, mijn life, je slapen hoofd / Op mijn trouweloze arm (Letakkan, cintaku, kepalamu yang terkantuk itu / Pada lenganku yang tak setia ini).

Untuk menebalkan keyakinan pada kesimpulan di atas, yaitu bahwa dia yang dicintai seyogiyanya berbahagia dan ia yang mencintai belum tentu begitu, baik juga diperhatikan bahan berikut ini. Kita tidak tahu pasti apakah John Cornford dicintai oleh seorang perempuan kekasihnya di suatu tempat di dunia ini. Yang pasti ia memang mencintai seorang kekasih, entah di mana. Apakah ia tinggal di negerinya Inggris tempat tumpah-darah sang penyair, atau di Spanyol tempat ia membela salah-satu pihak yang bertarung dalam kancah perang saudara pada tahun 1930-an.
Kalau tidak, manalah mungkin semolek ini ia melantunkan nyanyian senjanya:



The wind rises in the evening,
Reminds that autumn is near,
I am afraid to lose you,
I am afraid of my fear.

On the last mile to Huesca,
The last fence of our pride,
Think so kindly, dear, that I
Sense you at my side …

(Angin bangkit menjelang senja,
Ingatkan musim-gugur hampir tiba,
Aku takut kehilangan kau,
Aku takutkan ketakutanku.
Kilometer terakhir ke arah Huesca,
Pagar penghabisan kebanggaan kita,
Kenangkan dengan lembut, sayang,
Rasanya kau di sampingku ada …)



Pahahal usianya masih sangat muda, belum duapuluh lima. Tapi ganasnya perang saudara Spanyol telah merenggut nyawanya. Jauh dari negeri kelahiran, jauh dari perempuan kekasih. Maut dengan geram menanti lalu menyongsong kedatangan penyair itu di Huesca, sebuah kota kecil yang bersama kota Guernica y Luno hancur-lebur digasak bom. Pertempuran kiri melawan kanan, atas melawan bawah yang amat dahsyat itu diabadikan Pablo Picasso pada lukisan piawainya Guernica.
Kematian yang terlalu dini digambarkan dengan sangat bagus oleh Stendhal dalam karya agungnya Le Rouge et le Noir. Julien, pemuda yang menghadapi hukuman mati dilukiskan seperti kupu-kupu pendek usia yang lahir pada suatu pagi cemerlang di musim-panas untuk mati pada pukul lima petang; manalah dia tahu apa artinya malam. Berikan padanya beberapa jam lagi hidup, akan tahulah dia apakah malam itu.

Suasana senja dilukiskan senantiasa berwarna temaram dan remang-remang, gambaran tentang pergelutan antara hidup yang diwakili siang dan mati yang diwakili malam. Di antara siang dan malam, dia antara hidup dan mati itulah setiap nyanyian menjadi sendu, mengiris seperti sembilu. Kenangan pada kehidupan yang telah ditinggalkan di belakang dan kegerunan pada apa yang segera akan dihadapi di depan.
Seorang seniman sejati harus berupaya sekuat tenaga agar dapat dengan jitu melukiskan keadaan ini memakai alat-alat yang sesuai dengan jenis seni miliknya. Nadi sebuah karya seni baru mau berdenyut dan baru dapat menjadi hangat apabila pilihannya memang sudah tepat. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar