Sabtu, 12 Februari 2011

yusmar yusuf

Medan Itu
Yusmar Yusuf
Riaupos > February 13, 2011


Ya, di situ tikar sejarah dilipat. Sekaligus dibentang dalam tafsir yang tak terduga. Medan selera, ialah sejarah gastronomik dan jajan kuliner yang jadi tafsir menjulang bagi pelancongan modern. Di situ tersembul persilangan budaya, interaksi dan resepsi antar budaya; warna, rasa atau pun cara menghidang. Medan selera, juga sebuah revolusi mengenai makanan dan selera zaman. Medan ini juga bisa mengubah dunia.
Dan revolusi pun meletup di medan-medan, square, lapangan atau pun dataran. Tan Malaka dan Soekarno berjalan kaki gegas menuju lapangan IKADA (Medan Merdeka) untuk sebuah pergumulan revolusi kata-kata dan jargon. Di Medan Tahrir (mayidan at-Tahrir) Kairo, kebekuan menggunung selama 30 tahun mencair bak lahar menggelegak. Sebagaimana IKADA, demikianlah Tahrir bersuara tentang kebebasan dan pembebasan. Sejarah bermula dari helai baru antara jatuh dan bangun, takut, cemas, amarah dan menggoda. Ya, menggoda. Di Medan Tahrir orang tak semata memekik yel-yel pembebasan, namun berlantun, bernyanyi dan kasidah mengenai heroisme dan kejatuhan, resitasi puisi, gelegak teatrikal angkat sepatu baik muslim, kristen, koptik dan Badwi.

Mesir bukan titik Tahrir semata. Seluruh bentang padang pasir dan juluran Nil nan subur adalah medan sejati mengenai perjalanan peradaban yang gagah. Nabi Yusuf dan kerdipan tujuh bintang, kisah Zaleha dan Yusuf bersemi di Mesir. Plato juga menghabiskan masa liburnya yang sempurna di tanah Mesir, di pantai nan berkilau.   Farao dalam juluran dinastinya menghadirkan tadzkirat [monumen] peradaban mengenai bangun dan jatuh, bintang, langit, dan Tuhan. Musa bertarung di masa remajanya,  bertapak sejarah di tanah Mesir. Dunia sihir yang memucuk mendapat tempat di tanah Mesir, dan berujung khatam pada mukjizat Musa. Dinasti Farao tersungkur dalam kelebat sirah Musa nan panjang, tegang dan menggetir.

Mesir modern hidup dari Farao (Fir’aun). Kawasan Gizah yang memukau kala petang hingga senja, memajang deretan Piramid dengan galian masa lalu nan dalam dan panjang. Bangunan tadzkirat zaman Fir’aun inilah yang menjadi pesona bagi turisme Mesir modern. Dan Gizah adalah mayidan (medan) masa lalu yang tak mengalami ‘kesesatan’ di masa kini. Gizah menjadi pemicu utama turisme Mesir, selain pantai-pantai Iskandariah (Alexandria), kota Syuaiz (Suez) yang bertebing kanal rancangan Ferdinand de Lessep itu. Atau di kawasan wisata elit Hurghada dan Sharm el-Sheikh yang terkenal di Sinai itu.

Terusan Suez sepanjang 163 Km, menjadi nadi lain ekonomi Mesir modern selain turisme. Dilalui 2700 kapal tanker memikul minyak saban tahun. Terusan ini jadi permata sekaligus penghubung dunia Barat dan Timur (Mediteriania dan Laut Merah). Jika ditambah dengan kapal lain, maka total yang melintas ialah 3500 buah saban tahun,  termasuk kapal pesiar. Suez adalah mayidan (medan) yang lain bagi jentera ekonomi Mesir modern. Nil jadi impian setiap orang di muka bumi, karena sejak kecil kita telah tahu dan akrab dengan nama sungai yang berhias kisah-kisah agung dan getir (Musa kecil dan keluarga Fir’aun).

Kairo (Kahirah) menyimpan ingatan tua mengenai ilmu pengetahuan. Di sini ada universitas Al Azhar yang dibangun oleh dinasti Fatimiyah 1000 tahun lalu. Medan ilmu lain yang bergengsi di Kairo tentu saja Universitas Ain Shams, dan satu lagi perguruan tinggi bergengsi bersebelahan dengan Medan Tahrir adalah American University Kairo. Yang tumpah di Medan Tahrir bukan mahasiswa generasi tweeps (tweeter people) kumpulan pengguna Twitter dari Ain Shams dan Al Azhar, juga berpusu-pusu orang  muda yang tumpah bak kubah dari lidah American University yang dihuni klas menengah atas kosmopolitan Kairo. Inilah revolusi kicau (tweet) burung-burung, oleh kaum yang lahir tahun 80-an dan 90-an. Mereka menjelma bak burung-burung, bukan jasmine (melati) dari Tunisia. Ketika Boulevard Bourguiba di kota Tunis mekar jasmine, maka mayidan at-Tahrir di Kairo melantunkan kicau burung demi semerbak jasmine: Saling kembang dan berkicau.

Nefertiti, sebuah nama mengenai solek dan kecantikan. Cleopatra (Kulyubatarah) juga sebuah nama mengenai sejarah jelita dan penaklukan gemilang. Dua nama yang menghias tanah Mesir menjadi salah satu tanah gagah sekaligus anggun di muka bumi. Mesir itu adalah tanah yang mempertemukan masa lalu yang anggun, gelap, gagah, depostik dan tiranik dalam satu titik tumpu kekinian yang juga bertabiat sama dengan kaidah masa lalunya. Dia menjadi tumpuan hedonis dan pragmatisme Amerika. Karena tarik menarik kepentingan Israel. Daya tawar menggiurkan bagi Mesir yang Arab ketika berdepan dengan kaisar dunia bernama Amerika. Jatuh bangun satu rezim di Mesir, harus melalui perundingan abadi dengan Amerika dan Israel. Dia tak bisa diterjemah secara tunggal oleh diri Mesir Arab. Dia adalah silogisme antara kepentingan ideologis Israel dan ekonomi Amerika.

Mesir sejak kejatuhan raja dan bersalin menjadi republik (jumhuriyah), sejatinya tak pernah menyalin jadi republik demokratis. Dia mengenderai demokrasi otokratis atau malah tiranisme Arab gurun. Sepintas Mesir belum bisa melepas jubah dan baju mamlakiyyah (monarkhi). Mesir diperintahi  seorang Raja Presiden yang menghentakkan tongkat ‘Musa-Midas’ sekehendak hati. Tangan raja yang tiranik inilah yang menjadi perekat bagi kepentingan Israel yang sendirian di Asia Barat. Jika Mubarak turun tahta, Israel bakal berhadapan dengan kekuatan Arab yang merekonstruksi medan-medan baru yang teramat cerdas untuk menghancurkan kepentingan Israel zionis (?).

Dan di Medan Tahrir itu, para muda mengeja kata-kata, digabung, dihimpun dalam salakan keras menjadi pidato, puisi, yel-yel pendek tapi menghasilkan debar dan gegar. Revolusi adalah kumpulan kata-kata. Dan melalui kata lah, revolusi berjalan dalam keliaran persepsi yang tak tergenggam. Medan Tahrir jadi tumpuan dan tumpahan segala risau dan harap, sejak penjual roti sampai Yusuf Qardawi berpidato dari Qatar via  kanal  Al Jazeera. Kata-kata, bagi kaum muda di Medan Tahrir tidak untuk ditafsir sebagai fenomena anti Amerika atau anti Israel. Sebab, medan kaum muda ini bergerak tidak diilhami oleh desakan anti sosial. Tetapi kata-kata yang terhimpun pepat di Medan Tahrir hanya merujuk pada satu kehendak dan idaman bersama: Ruhi Mubarak…!!! Pergi Mubarak…. Turun…!!!

Mereka mau melukis Mesir yang terbebani sejarah kuno yang agung itu dalam gemuruh dunia yang berubah. Bergulir, mengelak, tak untuk Amerika, tak untuk Israel, tapi demi dan untuk kaum muda Mesir yang ingin menjilat dunia dengan lidah yang tak kelu. Latihan perdana untuk menghindari kelu, tentulah berkicau dan berkicau. Siulan, siutan yang tak kenal siang, senja, malam, dini hari dan subuh, adalah makian, cercaan, nistaan. Dan kata-kata pun mengandung sihir. Ruhi… ruhi… ruhi, maka Mubarak pun pergi dan tak kembali lagi. Kata-kata yang dilontar mengarah ke sebatang pohon berusia satu abad, jadi mantera ampuh. Seminggu setelah itu, pada hari ke 8, pohon itu meranggas dan meng(gering), lalu mati dan tumbang. Ini kepercayaan lokal suku-suku di kawasan Pasifik Selatan. Ruhi ruhi…***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar