Sabtu, 12 Februari 2011

bersihar lubis

Gaji Besar Korupsi Juga
Bersihar Lubis
Riaupos > January 29, 2011


Misalkan penduduk negeri ini berjumlah 240 juta jiwa, sebenarnya sekitar 238 juta, tapi agar mudah membaginya maka sepertigaribu di antaranya, 80.000 jiwa adalah para pejabat negara. Hidup mereka sudah pasti tak miskin.

Sebab defenisi orang miskin, menurut Badan Pusat Statistik adalah mereka yang pengeluarannya Rp211.000 sebulan, alias Rp7.000 lebih sedikit sehari.
Gaji dan tunjangan para pejabat itu selama ini enak tenan (sedap sekali). Ada rumah dan mobil dinas. Bahkan, biaya pengharum ruangan dan tisu di ruang kerja pun ditanggung APBN dan APBD.

Juga biaya pembeli tilam, bantal dan ranjang tempat tidur. Konon, bahkan biaya pulsa pun ditanggung negara. Sedaaapp! Dan berbagai pengeluaran lain menjadi tanggungan negara.

Ilustrasi ini dicuplik setelah mendengar kisah bahwa gaji dan tunjangan kerja atau remunerasi sekitar 8.000 pejabat negara setanah air akan dinaikkan oleh pemerintah.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengumumkannya kepada pers di kantor Menko Perekonomian, Jakarta, Selasa (25/1) lalu. Delapan ribu pejabat itu, ya, mulai dari presiden, wakil presiden, menteri, ketua DPD, ketua BPK, ketua DPR, gubernur, bupati, wali kota, kepala pengadilan, ketua MK, ketua MA dan pejabat negara lainnya seperti para ketua DPRD di daerah.

Remunerasi ini sudah disiapkan 3 tahun lalu. Jadi bukan karena pidato pengarahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Rapim TNI dan Polri di Balai Samudra Kelapa Gading, beberapa waktu lalu.

SBY mengatakan selama tujuh tahun dia tidak pernah naik gaji. Sontak beragam reaksi muncul. Ada yang menafsirkan sebagai  “curahan hati alias curhat”  agar gaji pemimpin negara dinaikkan.

Sampai-sampai ada yang memprakarsai coin for presiden dan dinilai pihak istana pula sebagai sinisme. Ada yang menganggap untuk memotivasi aparat negara yang baru saja mendapatkan remunerasi, seperti TNI dan polisi.

Versi Agus, selama ini penghasilan antara pejabat negara banyak yang senjang. Misalnya, penghasilan pejabat di daerah terpencil hampir sama dengan pejabat negara yang bekerja di kota.

Demikian pula dengan melihat gaji presiden hingga gubernur, bupati dan wali kota. Bahkan gaji gaji Gubernur BI  Rp265 juta sebulan. Tahun ini diusulkan naik 7 persen, dan mendapat berbagai tunjangan, dan kartu kredit tanpa batas (unlimited. Gaji Gubernur BI setara 353.000 dolar AS setahun, beda tipis dengan gaji Presiden AS Obama, meski gaji Presiden AS lebih tinggi dari gaji Gubernur Bank Sentral AS (The Fed).

Gaji Gubernur The Fed setahun sekitar 199.700 dolar AS dan gaji Presiden AS sekitar 400.000 dolar AS per tahun, sedikit di atas gaji Gubernur BI.
Sementara, gaji Presiden SBY beserta tunjangannya hanya Rp62,4 juta sebulan. Dana taktis Rp2 miliar sebulan adalah pendukung operasional, bukan termasuk take home pay.

Memang, aneh negeri ini. Mungkin itu dasar pemerintah bermaksud agar besaran gaji dan tunjangan para pejabat harus berjenjang naik dan bertangga turun.
Caranya, ya, dimulai dari gaji presiden, baru kemudian wakil presiden. Jika gaji bos tak ditengok tentu sulit meninjau  ke jajaran bawah pula. Variabel besar kecilnya gaji pastilah akan unik-unik.

Konon, di beberapa daerah ada gaji Ketua Pengadilan yang sangat kecil sekali. Memang diperlukan standardisasi sesuai level jabatan yang berbeda-beda. Ya, untuk asas keadilannya. Artinya, setiap level jabatan, ya, sama besar gajinya.
Jika pun ada perbedaan, mungkin pada fasilitas dan tunjangan. Sebaiknya ada tunjangan kemahalan yang dinilai dari indeks harga kebutuhan pokok yang berbeda di berbagai kota.

Jangan-jangan faktor inflasi yang berbeda antarkota juga menjadi pertimbangan pula. Jika Menteri Keuangan menjelaskan bahwa dalam peninjauan nantinya akan ada gubernur (saya kira juga bupati dan wali kota) kelas 1,2 dan 3 dengan melihat dari daerah tugasnya, haruslah hati-hati menimbangnya.

Apakah diukur dengan indeks biaya hidup dan inflasi, atau tingkat kesukaran dan kemudahan dalam melaksanakan tugas secara operasional di daerah itu?
Saya ingat menjelang Pemilu 1971, Pemilu pertama di era Orde Baru, mobil para camat di seluruh tanah air adalah berupa VW berwarna kuning tanah liat bertutup kap terpal.

Namun, khusus para camat di Kabupaten Nias (Sumatera Utara) yang terpencil di pedalaman diberikan berupa seekor kuda. Percuma diberikan mobil VW karena kondisi jalan sangat tak memadai.

Apakah sumbangan setiap daerah ke APBN menjadi faktor pertimbangan juga? Adilkah bagi daerah miskin dengan sumber daya alam, seperti minyak bumi, bahan tambang, perkebunan dan sebagainya?

Berbagai pertimbangan haruslah dikalkulasi dengan cermat. Nah, bagaimana pula perbandingan antara para pemimpin eksekutif, legislatif dan judikatif di berbagai tingkatan, pusat dan daerah? Mana yang lebih tinggi gaji dan tunjangan presiden, ketua MA, ketua DPR dan ketua MPR? Jika berbeda, apa dasar pertimbangannya? Masalah ini peka.

Masyarakat akan membandingkannya dengan kinerja pejabat yang bersangkutan.
Kadang masyarakat menilai bahwa gaji dan tunjangan yang memadai tak menjamin kinerjanya sangat baik. Tak menjamin seorang pejabat tidak mau korupsi, menerima gratifikasi dan disogok. Sudah kaya masih kurang kaya.

Sesungguhnya korupsi bermula dari abused of power, padahal yang punya kekuasaan adalah ke 8.000 pejabat tersebut. Harapannya memang dengan kenaikan gaji dan tunjangan tersebut mereka akan terhindar dari korupsi.

Namun fakta menunjukkan justru banyak pemegang kekuasaan yang melakukan korupsi. Sebaliknya, Agus optimis rencana pemerintah untuk meninjau gaji para pejabat negara ini tidak akan ditolak masyarakat. Karena tujuannya untuk menghindari terjadinya penyelewengan pejabat negara dengan alasan penghasilan rendah. Agus terlalu yakin?

Memang ihwal gaji tergantung melihat dari sudut mana. Kebutuhan fisik mendasar, atau kebutuhan profesional. Yang pertama sekadar hidup yang kedua bertabur fasilitas fantastik.

Jika gaji seorang buruh sekitar Rp1 juta sebulan, dan punya anak istri, tak sanggup dia nonton konser musik bermutu, apalagi berlibur ke Bali. Ah, miris rasanya menulis gaji kalangan orang penting ini mengingat masih banyak gaji kaum profesional lainnya di negeri ini yang belum pantas. Gaji buruh dan hidup orang kecil pun masih terengah-engah. Kapan hal ini menjadi agenda DPR?***

Wartawan Senior Tinggal di Medan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar