Senin, 21 Februari 2011

feizal qamar karim

Sekaten
Feizal Qamar Karim
RIAUPOS > FEBRUARY 16, 2011

SEKATEN konon berasal dari kata syahadatain yang berarti dua ucapan kesaksian, yaitu tentang keesaan Allah dan kerasulan Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam (SAW). Acara untuk memperingati kelahiran atau Maulid Nabi SAW ini merupakan tradisi kerajaan di Jawa yang masih bisa kita lihat di Jogjakarta, Surakarta, dan Cirebon. Sesuai dengan zaman, perayaan ini terus bermetamorfosis dari pengaruh Hindu sampai ke zaman ‘’modern’’ ini.

Asalnya dulu perayaaan sekaten antara lain diisi dengan pembacaan syahadat untuk mereka yang baru memeluk Islam, pentas wayang, dan tausiah para ulama pada khalayak yang pada bagian akhir memperebutkan gunungan sesajian bahan makanan. Sementara semarak itu terus bergeser dengan hadirnya pentas dangdut dan pasar malam oleh para pedagang kecil, pemanfaatan hasil rebutan gunungan itu bukan untuk dimakan, tapi ada yang menjadikannya sebagai jimat.

Sebenarnya sangat disayangkan perayaan maulid ini juga diisi dengan tradisi warisan dari masa transisi atau dari era ‘’modern’’ ini yang tidak islami yang tentunya tidak diinginkan oleh Rasulullah SAW.

Perayaan maulid seperti yang kita lihat hanya di Indonesia ini memang menjadi perbedaan khilafiyah. Pada satu kutub, ada pendapat yang menyatakan bid’ah merayakan Maulid Nabi SAW karena tidak ada dicontohkan beliau maupun para sahabatnya. Jangankan dengan musik dangdut atau memperebutkan bahan gunungan untuk dijadikan jimat, peringatan maulid dengan tausiah di masjid pun dianggap ibadah yang tidak ada dasarnya.

Kutub lainnya, perayaan maulid berdasarkan hadits dan pendapat para ulama yang tentunya tidak diambil secara gegabah. Tanpa masuk ke detil haditsnya, nabi puasa pada hari Senin dan Kamis selain karena pada hari itu catatan amal manusia dilaporkan oleh para malaikat dan beliau ingin ketika amal itu dilaporkan sedang berpuasa, juga karena hari Senin adalah hari kelahirannya.

Atas dasar itu dan untuk mengekspresikan rasa terima kasih kepada nabi yang telah membawa kita ke alam yang terang benderang serta syiar Islam, para ulama membolehkan perayaan maulid nabi sepanjang diisi dengan kegiatan yang sejalan syariah seperti membaca Alquran, majelis ilmu, zikir, sholawat, dan doa.

Karena boleh tidaknya perayaan maulid ini jadi masalah khilafiyah yang masing-masing pihak mempunyai dasar, maka usah kita pertentangkan karena bisa memecah belah ummat. Bagi sebagian orang mungkin ini hal kecil padahal kita harus hati-hati agar jangan sampai syiar ini jatuh pada bid’ah atau syirik sehingga kontraproduktif. Bid’ah akan menggiring kita ke neraka, syirik adalah dosa tak terampuni yang akan mengundang murka.

Yang lebih penting lagi adalah bagaimana agar kita bisa menjadi pengikut Rasulullah SAW yang baik dan banyak amal-ibadah sesuai larangan dan suruhan Allah SWT, sebagai ungkapan rasa cinta kita kepada Rasulullah SAW. Mari kita mengucapkan sholawat dan salam kepadanya: Allahumma sholli ala Muhammad, waala ali Muhammad. Assalamulaika ya Rasulullah.***


Minggu, 20 Februari 2011

hasan junus

Nyanyian Senja
Hasan Junus
RIAUPOS > FEBRUARY 20, 2011



Orang yang mencintai belum tentu berbahagia; ia barangkali gayang dirasuk sedih pedih, debar bergelombang datang, berdarah ditikam duka. Berbahagialah orang yang dicintai; jalan laluan dan udara yang dihirupnya bau bunga dan pesona; dia harus berbesar hati karena dirinya dihargai sampai mendekati tingkat abadi.


ENAK atau tidak, begitulah alam mempengaruhi manusia. Enak atau tidak, begitulah hati manusia dipengaruhi oleh keadaan dan kehendak alam. Dalam ideologi lelaki, ia yang mencintai itu bergender maskulin dan dia yang dicintai feminine. Memang ada gambaran terbalik yang diciptakan. Oleh para pengamal feminisme. Silakan!

Kata senja dalam banyak karya sastra sering ditafsirkan oleh para pengamal feminisme, yang tentulah terdiri dari kaum wanita, sebagai sudah berumur. Padahal yang benar kata senja berarti penghujung usia seorang anak manusia. Sehubungan dengan itu, para pengamal feminisme itu biasanya takut pada sang waktu; mereka kira usia muda merupakan jaminan umur panjang dan kecantikan yang bertahan. Dan takut pula pada kekurangan materi; mereka kira materi yang melimpah merupakan jaminan kebahagiaan. Biasanya mereka murka kalau dikatakan bahwa semua itu cuma omong-kosong. Mereka selalu lupa bahwa hidup itu dicecap, dirasakan, dikunyah, dimamah, ditelan, dihayati di sini dan kini, bukan di sana dan nanti. Tepat sekali orang Itali yang mengungkapkan sikap hidup eksistensial dengan mengatakan niente domani yang berarti tak ada hari esok.

Kebijakan purba Orang Melayu jauh lebih arif menafsirkan usia manusia dibandingkan dengan kebanyakan feminis: kelapa jatuh, mumbang pun jatuh. Dan ada pula seorang pengarang di sini yang melukiskan pucuk-pucuk puncak berkinyau hijau yang baru merecup di pagi hari sama indahnya dengan daun-daun kuning yang gugur di waktu senja.

Si tercinta yang mengembara di antara dua dunia, ya dan tidak yang tak tertetapkan, diganggu ragu dan terus bimbang untuk memutuskan, sangatlah berpotensi menjadi orang yang tidak setia. Dia berikan tubuhnya kepada seseorang tapi dia berikan hatinya kepada orang yang lain. Barangkali dia berkata seperti ungkapan seorang penyair Belanda dalam salah-satu sajaknya: Leg, mijn life, je slapen hoofd / Op mijn trouweloze arm (Letakkan, cintaku, kepalamu yang terkantuk itu / Pada lenganku yang tak setia ini).

Untuk menebalkan keyakinan pada kesimpulan di atas, yaitu bahwa dia yang dicintai seyogiyanya berbahagia dan ia yang mencintai belum tentu begitu, baik juga diperhatikan bahan berikut ini. Kita tidak tahu pasti apakah John Cornford dicintai oleh seorang perempuan kekasihnya di suatu tempat di dunia ini. Yang pasti ia memang mencintai seorang kekasih, entah di mana. Apakah ia tinggal di negerinya Inggris tempat tumpah-darah sang penyair, atau di Spanyol tempat ia membela salah-satu pihak yang bertarung dalam kancah perang saudara pada tahun 1930-an.
Kalau tidak, manalah mungkin semolek ini ia melantunkan nyanyian senjanya:



The wind rises in the evening,
Reminds that autumn is near,
I am afraid to lose you,
I am afraid of my fear.

On the last mile to Huesca,
The last fence of our pride,
Think so kindly, dear, that I
Sense you at my side …

(Angin bangkit menjelang senja,
Ingatkan musim-gugur hampir tiba,
Aku takut kehilangan kau,
Aku takutkan ketakutanku.
Kilometer terakhir ke arah Huesca,
Pagar penghabisan kebanggaan kita,
Kenangkan dengan lembut, sayang,
Rasanya kau di sampingku ada …)



Pahahal usianya masih sangat muda, belum duapuluh lima. Tapi ganasnya perang saudara Spanyol telah merenggut nyawanya. Jauh dari negeri kelahiran, jauh dari perempuan kekasih. Maut dengan geram menanti lalu menyongsong kedatangan penyair itu di Huesca, sebuah kota kecil yang bersama kota Guernica y Luno hancur-lebur digasak bom. Pertempuran kiri melawan kanan, atas melawan bawah yang amat dahsyat itu diabadikan Pablo Picasso pada lukisan piawainya Guernica.
Kematian yang terlalu dini digambarkan dengan sangat bagus oleh Stendhal dalam karya agungnya Le Rouge et le Noir. Julien, pemuda yang menghadapi hukuman mati dilukiskan seperti kupu-kupu pendek usia yang lahir pada suatu pagi cemerlang di musim-panas untuk mati pada pukul lima petang; manalah dia tahu apa artinya malam. Berikan padanya beberapa jam lagi hidup, akan tahulah dia apakah malam itu.

Suasana senja dilukiskan senantiasa berwarna temaram dan remang-remang, gambaran tentang pergelutan antara hidup yang diwakili siang dan mati yang diwakili malam. Di antara siang dan malam, dia antara hidup dan mati itulah setiap nyanyian menjadi sendu, mengiris seperti sembilu. Kenangan pada kehidupan yang telah ditinggalkan di belakang dan kegerunan pada apa yang segera akan dihadapi di depan.
Seorang seniman sejati harus berupaya sekuat tenaga agar dapat dengan jitu melukiskan keadaan ini memakai alat-alat yang sesuai dengan jenis seni miliknya. Nadi sebuah karya seni baru mau berdenyut dan baru dapat menjadi hangat apabila pilihannya memang sudah tepat. ***


yusmar yusuf

Tanpa Jeda
Yusmar Yusuf
RIAUPOS > FEBRUARY 20, 2011

Bak gelombang yang berarak, kekerasan demi kekerasan disangkutkan. Dan setiap orang menaruh harap yang jamak untuk menyudahi. Agama memiliki dua wajah; kedamaian dan penyerbuan. Kedamaian yang menjadi jalan pedang dari semua agama, tak boleh dinista, ditindih oleh tabiat merendah. Ketika itu terjadi, maka wajah agama berubah sontak menjadi sesuatu yang menyerbu, agresif dan ujungnya kekerasan. Dan kekerasan itu jamak dilakukan oleh mayoritas.

Di mana negara? Negara seakan penerjemah yang “gamang”, juga terbelenggu oleh ‘korupsi pemahaman’ mengenai agama. Padahal dalam negara yang mengusung sekularisme seperti Indonesia, negara tidak menganut agama. Negara hanya memiliki “civic religion” (agama warga). Apapun agama dan kepercayaan rakyatnya adalah sama di depan negara. Sehingga tugas negara adalah melayani, merenjis dan menaungi para penganut agama, dan melerai segala bentuk konflik, benturan yang berpotensi terjadi di antara pemeluk agama. Nyatanya, negara kalah dengan kekerasan warga yang berlindung di belakang bendera agama.

Padahal ketika mahasiswa bergerak atau demonstrasi kecil depan istana, aparat yang ditugasi negara tampil menawan dan sempurna, malah terkadang aparat pula yang melakukan kekerasan terhadap mahasiswa demi menegak keadilan, sekaligus untuk menekan keonaran negara. Tapi ketika berdepan dengan organisasi berbasis agama, negara seakan tiada, seakan menghindar dari harapan jamak warga. Negara seakan membiarkan. Dan tabiat ini menjadi sudut lapuk, sehingga negara menjadi sosok yang juga “terbiarkan” (negleted) di depan rakyat. Negara, sebuah kisah abai dan pengabaian. Negara hanya mempertunjukkan kepedulian itu pada aras retorika dan podium. Dan inilah wajah tunggal yang dijinjit oleh negara dalam ihwal penyelesaian naratif mengenai kekerasan yang berulang dari tahun ke tahun.

Kekerasan yang berujung kematian adalah penampakan lapuk sebuah peradaban. Membunuh makhluk hidup, sama halnya membinasakan kehidupan segala makhluk di luar rencana Tuhan. Tabiat ini bergerak liar menjadi liyan (the other) dalam benua monster. Dan dunia menjatuhkan dacing timbangannya kepada tampilan wajah kebudayaan dan peradaban yang mengedepan tradisi kekerasan dalam menyelesaikan segala persoalan, bukan dialog. Tradisi ini adalah tradisi bangsa tertutup, bangsa yang lapuk, bangsa yang merasa menang sendiri, bangsa yang tak pernah menikmati keragaman sebagai bentangan harmoni mempesona, merdu dan wangi.

Berapa banyak nyawa meregang dan melayang di depan anak-anak yang tak tahu-menahu mengenai “keimanan” orang dewasa. Keimanan dan pengimanan mempersembahkan sisi buruk dan beringasnya di depan kanak-kanak. Sejak kecil anak-anak Indonesia disuguh dengan segala jenjang kekerasan. Kita tak menyediakan laman kepada anak-anak kita menjadi makhluk yang independen, bebas dan merdeka menikmati hidup dalam kuluman nan bahagia. Mereka menjadi sederet anak-anak yang tak mengenal jeda dan interupsi dalam gelombang kekerasan yang berujung kematian atas bapak-bapak mereka di depan mata yang menyalak.

Apakah Tuhan  menjadi bingung? Hehe hehe… Tuhan sudah imun (lali) dengan segala kekerasan dan atau kematian. Dan di mana Tuhan ketika anak-anak tercekam oleh kematian ke atas tubuh bapak-bapak mereka dalam salakan mata dan siutan pedang bak kilat yang menebaskan rasa benci dan dendam? Apakah agama menyisakan kepada umat pemeluknya menjadi pendendam dan menghentakkan kekerasan demi kekerasan sempena melayani Tuhan? Ketika itu, kita bertanya, di manakah Tuhan, saat kita sedang memerlukan? Perlu, demi untuk menyampaikan sebuah kesaksian yang tiada jeda. Dulu perempuan-perempuan Melayu di Nusantara ini diperkosa dan menjadi budak seks oleh serdadu Jepang. Kita hanya bisa menangis pilu dan anak-anak, bapak yang tiada berdaya pun bertanya, “di mana Tuhan ketika tragedi itu terjadi dan berlangsung di depan mata”?

Apakah untuk menyunting “bunga kemuliaan” di puncak nun, kita harus menyelenggarakan kekejian kemanusiaan? Apakah negara dilibatkan secara pasif dan bermuka dua demi melayani syahwat keji untuk sampai ke puncak nun nan tinggi, yang di atas sana bertabur wewangian dan segala aroma surgawi? Apakah pesan-pesan nubuat atau profetik mesti disalurkan dalam kanal-kanal yang anti sosial, anti dialog dan anti kemanusiaan? Seni, selain agama adalah sejumlah kanal yang dihajatkan untuk memperhalus akal budi manusia. Seni, agama bukan untuk dimengerti, tetapi untuk dinikmati sebagai makanan batin. Seni dan agama tak mengenal perhimpunan dan penjumlahan. Bukan perkalian, pengurangan dan penambahan. Dia menghidang garis gaib yang tak terkuak oleh setiap insan. Dan garis gaib itu berada di sempadan hati setiap manusia. Kekejian dan kekerasan apapun yang dilakukan di luar ‘garis gaib’ itu, sesungguhnya makin menjarakkan diri manusia secara pribadi dengan dirinya sendiri. Bahwa garis gaib itu bak benang bening; ada dan tak wujud. Mereka yang menyeberangi ‘garis gaib’ itu dengan damai, sesungguhnya adalah mereka yang merindukan kebijaksanaan memucuk (wise).

Negara tak boleh berhenti. Dia adalah rembulan juga payung yang menaungi ‘garis-garis gaib’ warganya.  Oleh karena itu, negara hanya menganut “civic religion”. Dia tak bisa bersandar kepada penganut yang mayoritas atau minoritas. Dia berada di tengah-tengah tapi bertindak bak kubah yang meneduh. Ketika negara bersembunyi, pada saat itulah kekerasan warga menyeruak dan seolah-olah menggantikan peran negara yang abai. Pada ketika itu pula pengabaian-pengabaian ikutan lahir dalam bentuk penghilangan dan penistaan kemanusiaan, terutama terhadap dunia kanak-kanak. Kita dan negara telah membelah hati, melapuk hati sebuah generasi untuk berperan ceria dalam sulaman kebangsaan. Hati-hati yang remuk, lapuk dan calar, akan melahirkan tradisi yang mengelak dan calar pula.

Apakah kita memang terlahir dari hati bangsa yang berjiwa lapuk sejak gempita pembentukan kebangsaan di awal kemerdekaan? Bahwa agama dan ajaran agama, seakan gagal menyudahi kekerasan manusia terhadap manusia lain. Seakan agama hanya hadir untuk kemaslahatan pemeluknya, dan menjadi bencana bagi mereka yang tak memeluknya. Deretan kebencian manusia Indonesia hari ini, terutama kaum Islam menurut suatu penelitian baru-baru ini adalah kepada Komunisme, Yahudi, Nasrani. Kenapa kebencian ini kian menyulut? Apakah negara ikut memperkeras sulutan itu? Apakah hal ini sebagai reaksi dari tragedi-tragedi negara yang dipertonton setiap saat, terkait perlakuan negara terhadap sempalan Islam garis keras yang terkadang di luar akal sehat; penangkapan dan penembakan ekstremis, yang juga mempertontonkan kekerasan negara dalam bentuk lain, penangkapan dengan mata tertutup, kaki dirantai, tangan diborgol dan kepala ditekan ketika menaiki kendaraan tahanan? Negara juga harus menyudahi tontonan kekerasan itu, jika kita hendak menuai kedamaian hakiki dan menghidangkan kehidupan yang bahagia bagi rakyatnya. Dan kita mendahaga…***