Minggu, 13 Februari 2011

bersihar lubis

Negara Tak Urus Cabai
Bersihar Lubis
Riaupos > January 8, 2011


Pemerintahan kita ma-kin gemar melakoni pepatah orang Minangkabau. Habih cakak, takana silek.
Usai berkelahi teringat jurus silat. Apa gunanya lagi, jika dalam baku hantam itu, kita sudah babak belur.

Paling menang ngomong, persis konferensi pers pejabat PSSI setelah kalah melawan Harimau Malaya Malaysia.

Ilustrasi ini muncul setelah mendengar ucapan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu di Kantor Menko Perekonomian, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Kamis (6/1/2011). Dia menganjurkan untuk sementara masyarakat menggunakan sambal botol atau cabai bubuk selagi harga cabai mahal dan kini sudah mencapai Rp100.000, bahkan lebih sehingga inflasi kita mencapai 7 persen, melenceng dari target.

Pemerintah juga menganjurkan ramai-ramai bertanam cabai di halaman rumah masing-masing. Menteri Mari Elka PangestuĂ‚  sudah melakukannya di rumahnya di kompleks menteri di Jakarta. Konon, bagi warga yang mau akan diberikan benih gratis.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga berharap hal serupa. SBY sudah melihat kreativitas rumah tangga yang dilakukan oleh masyarakat. Seperti menanam tomat, cabai dan segala macam di perkarangan rumah. Itu luar biasa sekali, kata SBY dalam sidang kabinet paripurna di kantor Presiden, Jakarta, Kamis (6/1) lalu.

Artinya, bisa membangun semacam ketahan pangan warga.
Untuk sambal kemasan, sayang, kurang cocok di lidah orang kita. Kurang pedas. Ini memang soal kultur. Orang biasanya tak suka pula kepada cabai bubuk yang cocok untuk memasok industri makanan.

Adapun tentang bertanam cabai di halaman rumah masing-masing, tak semua penduduk bisa melakukannya. Apalagi di perkotaan, yang rata-rata berhalaman sempit. Kecuali rumah gedongan, lahannya tersedia. Tapi orang the have ini mana mau bertanam cabai.

Untuk apa? Semahal-mahalnya cabai, mereka bisa beli. Di tengah-tengah anjuran itu, jangan-jangan sebentar lagi harga cabai kembali normal. Persislah, ujaran orang Minangkabau itu, habih cakak takana silek.

Anjuran-anjuran itu kelihatannya untuk menutupi kegagalan pemerintah menjaga stabilitas harga cabai. Dalam banyak kesempatan kita ingat bahwa Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu tidak percaya, bahwa lompatan harga cabai karena ulah spekulan. Namun lebih disebabkan faktor musim penghujan yang membuat produksi cabai menjadi berkurang.

Apalagi komoditas cabai tidak bisa ditimbun karena cepat busuk.
Memang musim lagi tak berketentuan. Para pakar menyebutnya anomaly. Okelah. Tetapi bukankah anomaly musim belum beringsut pada 2011? Australia yang selama ini didominasi gurun, memasuki 2011 justru dilanda banjir besar yang berkepanjangan.

Artinya, masih terbuka kemungkinan di tahun ini. Namun di balik logika lurus sang ibu menter, mungkin dia melupakan logika kaum spekulan. Bagi mereka, spekulasi bukan tindakan untung-untungan. Tetapi dengan perhitungan yang matang. Bahkan turunnya pasokan cabai di beberapa daerah merupakan peluang untung yang besar, karena ada alasan untuk mengatrol harga.

Hanya dengan bertelepon dengan mitra bisnisnya, yang sudah terjalin sejak lama, maka dalam hitungan jam berton-ton cabai akan mengalir dari daerah surplus ke daerah minus. Untungnya besar karena harga yang dibeli dari petani malah tidak ikut naik.

Bukan tak mungkin cabai dari Sulawesi terbang ke Jakarta atau ke pulau lain. Agustus 2010 lalu, gejala ini sudah terjadi, sampai-sampai pemesan datang memborong langsung kepada petani.

Tidak mustahil pula fenomena itu terjadi lintas daerah di Sumatera dan Jawa, yang transaksi sangat gesit di era teknologi informasi ini. Pula, arus cabai antar daerah itu bukanlah perbuatan pidana. Apalagi distribusi komoditas cabai sepenuhnya ditangani antarpedagang, minus intervensi negara, sehingga, ya, sangat neoliberal.

Hasil Forum Kajian Ekonomi Regional BI yang dipublikasi pada Selasa (4/1) di Jakarta, semakin meyakinkan saya bahwa bisnis cabai sangat neolib. Disebutkan, para pedagang besar ternyata meraup untung 30 persen sebelum melemparnya ke pasar. Nah, pedagang eceran juga memetik rente 25-30 persen pula. Tak heran jika harga cabai terus membubung, padahal para petani hanya menerima Rp17.000-Rp20.000 per kg.

Mestinya, negara hadir dalam arus distribusi cabai ini. Karena tidak, maka pedagang bebas berspekulasi, dan sesuai hukum ekonomi, mereka melempar cabai ke daerah yang langka cabai sehingga harga menaik. Lalu, lempar lagi ke daerah lain, jika daerah pertama sudah panen atau pasokannya memadai. Sebetulnya, produk cabai nasional mencapai 1,19 juta ton. Kebutuhan domestik 1,22 juta ton. Defisit hanya sedikit, 20.919 ribu ton.

Tak terlalu gawat. Bahkan, data lain menyebutkan produksi nasional mencapai 1,3 juta ton pada 2010, dan akan di-drive menjadi 1,45 juta ton pada 2011.
Namun kesenjangan produksi oleh musim penghujan membuat peluang spekulasi menganga lebar. Pedagang selalu diatur oleh untung, dan sudah merupakan etos seluruh pebinis di kolong langit ini. Mereka tak perlu rapat, seperti sidang kabinet atau antarinstansi di provinsi, yang terlalu birokratis.

Apalagi semua pulau di Indonesia terbuka dengan negara lain, sehingga tak mustahil produksi cabai dikirim ke Malaysia, atau menyebarang lintas perbatasan di Kalimantan Barat ketika harga lebih tinggi..

Saya membayangkan jika gejala kesenjangan produksi terjadi akibat musim penghujan, maka antar sesama pemerintah daerah di Indonesia segera bertindak bagai pedagang. Segera beli cabai dari daerah surplus, dengan dana pemerintah, tapi harganya normal dan lempar ke daerah minus dengan harga pantas.

Bila perlu, bentuklah sejenis Kelompok Petani Cabai (KPC) di daerah produksi. Pemda memberikan dana talangan kepada KPC untuk membeli panen cabai, dan ketika pasokan di pasar berkurang, KPC memasoknya. Jangan biarkan spekulan tertawa lebar menikmati hasil permainannya, ketika negara absen.

Intinya, negara dan jajarannya di daerah jangan jadi penonton. Mobilisasilah petani melawan tengkulak agar harga tak naik sehingga inflasi tak mencapai 8 persen. Berpikir dan bertindaklah sebagai pebisnis. Jangan asyik dibelengu oleh etos birokrasi yang lamban. Jika tidak mau juga, tunggulah cengkeraman inflasi!***

Bersihar Lubis, wartawan senior tinggal di Medan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar