Jumat, 11 Februari 2011

tabrani rab

Kerajaan atau Provinsi
Tabrani Rab
Riaupos > December 5, 2010


Di negara manapun di dunia ini mula-mula bentuk kerajaanlah. Lama-lama negara itu sesudah berdiri atas nama kerajaan maka timbul pula keinginan untuk menjadikan atas nama republik. Dikira Prancis yang pertama. Tetapi ketika George Washington mendirikan negara Amerika maka Eropa pun beramai-ramai menonton Amerika. 
Timbullah keinginan mereka untuk belajar dari Amerika. Artinya menghilangkan kerajaan dan meraup trias politika. Pertama-tama adalah pendiri negara. Untuk mengawasi negara maka perlu pula dibuat undang-undang untuk berapa lama negara yang dipimpin perseorangan ini boleh bertahan. Corak pemerintahan ini yang disebut dengan republika menurut Plato. Lama-lama negara lain pun mengikuti revolusi artinya untuk menopang negara ada trias politika yakni undang-undang yang mengatur republik, ada peraturan keuangan yang menentukan aktivitas raja dan raja yang dipilih 4 atau 5 tahun sekali. Begitulah ceritanya republik menggantikan kerajaan atau monarki.

Di Indonesia terbalik. Mula-mula ada kerajaan kemudian atas dekrit Presiden ditopanglah trias politika. Lama-lama kerajaan yang banyak tersebar di Indonesia oleh revolusi Soekarno diganti menjadi republik termasuk sebuah Kesultanan Jogjakarta. Raja maupun Soekarno sangat setuju digabung dengan republik yang besar ini menjadi Republik Indonesia. Akan tetapi sesudah Sultan meninggal dan meninggalkan pesan tidak lagi mau menjadi bentuk kerajaan, lama-lama Sultan Hamengkubowono IX dan Pakubuwono X sebagai wakil Sultan habislah era kerajaan. Tetapi Hamengkubowono IX dari permulaan sudah membela republik. Maka kini Hamengkubowono X tidak menyadari konsensus ini bahkan melalui Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid tetap mempertahankan kerajaan. Timbullah masanya sesudah republik dipimpin oleh SBY masalahnya menjadi masak.

Timbullah keputusan SBY untuk menghilangkan hirarki dalam sistem republik Indonesia. Walaupun akan diserahkan oleh SBY kepada DPR RI tapi keadaan kacau-balau antara sistem kerajaan Jogjakarta dengan Republik Indonesia tak dapat lagi ditunda. Harus masak menjadi kerajaan yang hilang dan republika tetap mempertahankan diri. “Saya tak mau harus berhadapan dengan SBY,” kata Sri Sultan Hamengkubowono X.

Polemik keistimewaan Provinsi DI Jogjakarta suatu fenomena politik cukup menarik untuk disimak. Kenapa? Puncak peringatan Hari Guru Nasional 2010 di Gedung Tennis Indoor Senayan seperti menjadi antiklimaks hubungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Gubernur DI Jogjakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X yang digambarkan begitu tegangnya dalam sepekan terakhir. Ternyata, ketika keduanya bertemu, Sultan sempat mengembangkan senyumnya, lalu Presiden SBY menepuk-nepuk bahu Sultan, dan keduanya pun bersalaman.

Kamis malam ini, Presiden memang memberikan penghargaan kepada sejumlah kepala daerah dan pendidik yang dianggap berjasa dalam bidang pembangunan. Sultan adalah salah satu gubernur yang menerima penghargaan Satya Lencana. Gubernur lain adalah Bibit Waluyo, Jawa Tengah. Pemerintah menilai, Sultan berjasa turut membantu mengembangkan kualitas guru dan pendidikan di wilayahnya. Mengenakan setelan jas hitam, kemeja putih, dan dasi merah, Sultan langsung menuju ke panggung begitu namanya disebuat sebagai penerima tanda jasa Satya Lencana. Presiden yang mengenakan batik khas PGRI berjalan ke arah Sultan. Presiden pun langsung menyematkan tanda jasa ke dada Sultan. Wajah Sultan tampak serius. Seusai penyematan, kedua pemimpin tersebut bersalaman dan saling melempar senyum. Presiden sempat menepuk bahu Sultan. Seusai acara, Sultan mengatakan berterima kasih atas penghargaan tersebut. “Terima kasih kepada pemerintah. Penghargaan ini memotivasi. Semoga pendidikan di Jogja bisa lebih baik lagi,” kata Sultan.

Memang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan klarifikasi terkait pemberitaan mengenai Rancangan Undang-undang Keistimewaan Daerah Istimewa Jogjakarta, utamanya terkait mekanisme pemilihan daerah. Saya berpendapat bahwa untuk posisi kepemimpinan Gubernur DIY lima tahun mendatang tetap Sultan Hamengkubuwono X. “Kalau dari sisi politik praktis, tolong dicatat, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan di negeri ini, saya berpendapat bahwa untuk posisi kepemimpinan Gubernur DIY lima tahun mendatang tetap Sultan Hamengkubuwono X,” kata SBY.

Sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, kata SBY, dirinya akan mengalirkan pandangannya tersebut sebagai garis politik. SBY menegaskan bahwa pemerintah hingga saat ini belum menentukan sikap terkait mekanisme pemilihan kepala daerah DIY. Presiden mengatakan, apa yang sesungguhnya dipersiapkan pemerintah pada Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK) DIY sama sekali tak terkait dengan politik praktis, terlebih direduksi dengan kepentingan pribadi dirinya dengan Sultan. Pemerintah merasa perlu mewadahi mekanisme pemilihan kepala daerah dalam suatu undang-undang. Ketentuan kepemimpinan ini juga terkait dengan suksesi ketika Sultan dan juga Paku Alam IX, yang saat ini menjadi Wakil Gubernur DIY, berhalangan tetap. “Yang tengah kita pikirkan dan kita rancang bersama DPR adalah keistimewaan DIY dalam arti utuh dan menyeluruh, yang dalam undang-undang dewasa ini belum diatur secara eksplisit,” katanya. “Undang-undang yang kita hadirkan tentu tidak hanya mengatur kedua beliau, tetapi juga mengatur suksesi kepemimpinan yang akan terjadi kelak di kemudian hari. Dengan demikian, undang-undang ini tidak situasional sifatnya,” katanya.

Bola bergulir ini pun terus antara Sultan dengan Presiden. Yang dapat diduga bahwa kerajaan Jogjakarta akan menghilangkan dirinya sementara undang-undang melalui DPR RI tetap mempertahankan republika. Apa lagi? Ya republik ini heboh lagi.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar