Minggu, 13 Februari 2011

bersihar lubis

Gayus Bajingan yang Herois
Bersihar Lubis
Riaupos > January 15, 2011


Ironis isu Gayus Tambunan kini mirip kisah penyanyi Anang Hermansyah. Konon ada penyanyibaru pengganti Syahrini. Akan jadi pacar menuju jenjang pelaminankah? Belum jelas.

Gayus juga begitu. Isu-isu dia membayar paspor Rp900 juta, jadi berita. Tapi kata pengacaranya, Hotma Sitompul hanya Rp200 juta. Mana yang benar? Belum jelas.
Gayus bisa keluar dari Rutan Brimob di Kelapa Dua Depok sebanyak 68 kali dan lalu berlibur ke Bali, Macau, Kuala Lumpur dan Singapura memang pantas menjadi berita. 

Tetapi mengapa bisa keluar? Siapa yang membolehkannya? Belum jelas. Tapi jika mengingat sudah banyak tahanan yang bisa keluar dari rutan itu, artinya sudah jamak, bukan orang menggigit anjing, sebenarnya bukan lagi berita.

Saya hanya sebal berita tentang Gayus itu miskin informasi. Hanya didominasi unsur who dan what. Sementara why dan how-nya tidak muncul. Misalnya, mengapa ia membayar paspor semahal itu? Padahal, paspor resmi hanya sekitar Rp275 ribu saja.
Logikanya, banyak yang kecipratan. Siapa saja? Katanya, seorang calo berinisial A kebagian Rp22,5 juta. Sisanya siapa yang membagi-baginya? Adakah para pejabat ikut menikmati, masih belum jelas. Kebutuhan informasi publik tidak terjawab.
Juga belum terang benderang mengapa Gayus ke Macau, Kuala Lumpur dan Singapura? Benarkah bertemu seseorang yang penting? Siapa orang kaya yang membelanjainya seperti disebut-sebut di media massa? Belum jelas juga.

Tak, ayal Gayus pun bagai berita-berita dalam tayangan sementara infotainment. Sepenggal isu saja jadi berita. Rasanya mirip running text di televisi pula. Dahaga informasi publik tetap kehausan.

Tatkala Gayus bernyanyi di persidangan bahwa yang yang diadili hanya para teri, seperti dirinya, sementara para big fish belum disentuh, juga belum terjawab apa sebabnya. Padahal, konon, ada 40-an pengemplang pajak yang telah dibeberkan di pengadilan. Mengapa dan bagaimana, juga belum jelas.

Kita tidak hendak menempatkan Gayus sebagai hero. Bagaimana pun melihat perbuatannya, dia seorang bajingan juga. Tetapi dia kan hanya ekor? Kepalanya kok belum diapa-apakan? Ini tidak adil sebagai sesama pelanggar hukum.
Mestinya senasib dan sepenanggungan sesuai kualitas kesalahan masing-masing. 

Toh, Gayus berguna juga. Buktinya, Komisi III DPR RI telah membentuk Panja Mafia Pajak, Rabu (12/1) lalu.

Konon, dimaksudkan untuk membuat kasus Gayus terang-benderang. Namun karena bukan pro-yustisia, bisa-bisa menjadi kancah politisasi. Mudah-mudahan saja tidak membuat cerita itu semakin kabur.

Soalnya, secara implisit banyak yang menduga bahwa kasus Gayus bisa merembes kepada pengusaha Aburizal Bakrie, yang juga Ketua Umum DPP Partai Golkar. Tetapi, Aburizal malah menentang agar kasus itu dibuka sampai tuntas. Termasuk anggota DPR dari Golkar.

Wah, kasus ini bisa semakin tak jelas. Saya hanya khawatir jika kasus Gayus dan rentetannya terus mengambang tak menginjak daratan hukum, tak mustahil masyarakat bisa melupakannya. Jika kemudian muncul kisah dari entah artis atau penyanyi yang terlibat skandal, atau sejenisnya, cerita Gayus pun berlalu.

Demikian silih berganti layaknya tayangan infotainment. Padahal, kasus Gayus menyangkut pajak, urat nadi APBN. Ini soal penting, Bos! Tak bisa mendustai hati, Gayus menerbitkan empati juga. Walaupun terdakwa kasus mafia pajak itu dituntut jaksa 20 tahun penjara, tapi menghadapi wartawan, setidaknya yang tampak di layar televisi, dia suka melemparkan se-nyuman. Sementara di persidangan, saat membacakan dupliknya, dia bersedia mendukung Presiden RI untuk memberantas korupsi demi menangkap koruptor big fish.

Dia kecewa karena hanya koruptor kelas "teri" yang ditangkap. Sedangkan koruptor big fish dibiarkan. Kata Gayus yang terjadi, (hanya) ikan teri seperti saya, Arafat, Sri Sumartini, Alif Kuncoro, Humala, dan Maruli, (yang) ditangkap.

Padahal, Gayus sudah banyak bernyanyi siapa saja big fish itu ketika sebelumnya dia diperiksa berbagai pihak. Betapa ironis. Gayus bahkan bersedia menjadi staf ahli Kapolri, Jaksa Agung, maupun Ketua KPK demi pemberantasan korupsi di negeri ini. Dia berjanji, dalam waktu dua tahun Indonesia akan bersih. Gayus tak hanya akan menangkap kakap, tapi paus dan hiu ditangkap.

Tentu saja curhat Gayus itu hanya sinisme. Tidak benar-benar ia hendak menjadi staf ahli para penegak hukum itu. Mustahil. Tak mungkinkah terdakwa masuk ke jajaran struktural penegak hukum. Saya kira masyarakat berharap agar kasus Gayus menjadi snow ball yang semakin menyibakkan siapa saja pendosa-pendosa perpajakan.
Penegak hukum telah diberi amunisi, dan semestinya serta-mertalah bergerak, agar buku Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) itu tidak sia-sia. Jika diam seribu bahasa, apa kata dunia?

Mestinya, ya, go a head! Ibarat kuman penyakit yang diidap sebuah tubuh semakin banyak berkeluaran semakin baik sehingga sang tubuh pada suatu hari menjadi steril. Semacam kristalisasi, pemurnian.

Jika pun banyak jatuh korban, tetapi ibarat pepohonan tumbang bersama daun-daunnya, maka di atas pohon dan daun-daun yang busuk itu akan muncul tunas dan pohon baru yang lebih subur. Memang sindiran Gayus akan sia-sia saja jika berlalu bagai angin. Ah, jika penegak hukum pun melanggar hukum, apa jadinya negeri ini? Jika sapu yang diharapkan membersihkan malah berlepotan dengan kotoran, apa kata dunia?

Ibarat meja makan, saban ada yang membersihkan ada saja yang kemudian mengotorinya. Bahkan tragisnya para pembersih meja makan itu ikut pula mengotorinya. Mengapa tak didepak saja? Diskriminasi penegakan hukum adalah citra buruk yang membuat investor ragu menanam modal di Indonesia. Jika demikian, menyahuti nyanyian Gayus adalah satu langkah besar dalam meraih kembali kepercayaan masyarakat dan kaum investor terhadap penegakan hukum.

Benarlah Hunter S Thompson, ketika ia berkata, bahwa We cannot expect people to have respect for law and order until we teach respect to those we have entrusted to enforce those laws. Saya ingat film lama, yakni The Singer not The Song. Anda boleh benci perbuatan Gayus. Tetapi, dengarkan nyanyiannya, bukan siapa penyanyinya.***

Bersihar Lubis, wartawan senior tinggal di Medan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar