Minggu, 20 Februari 2011

dahlan iskan

Tekan Pencurian Listrik dengan Sistem Tender
Dahlan Iskan
RIAUPOS > FEBRUARY 3, 2011

Di India, badan otorita independen tak hanya untuk jalan tol (lihat bagian pertama tulisan saya kemarin), tapi juga untuk listrik. India memang punya cara sendiri membenahi kerumitan listriknya. ‘PLN’ New Delhi selalu rugi besar dan pelayanannya sangat parah. Pembenahan itu sudah diuji coba di negara bagian New Delhi yang tak lain juga ibu kota India.

Pemerintah negara bagian New Delhi sudah tak tahan lagi menanggung beban subsidi listrik. Kerugian ‘PLN’-nya dari tahun ke tahun terus meningkat. Padahal tarif listrik yang dikenakan pada masyarakat sudah cukup mahal. Jauh lebih mahal dari tarif listrik di Indonesia. Rata-rata sudah sekitar Rp1.000 per kWh (Indonesia rata-rata Rp730 per kWh).

Dengan tarif seperti itu, seharusnya listrik di New Delhi sudah tak lagi hidup mati. Tapi, kenyataannya gawat sekali. Sebulan, 30.000 pengaduan masuk ke ‘PLN’-nya New Delhi. Padahal jumlah pelanggannya hanya sekitar 4 juta orang (pelanggan Jakarta 3,7 juta, tahun lalu pengaduannya 5.000).

Penyebab utama kerugian itu ternyata di sistem penyaluran listrik. Peralatannya sudah tua dan, ini dia yang keterlaluan: pencurian listrik oleh penduduknya luar biasa. Kerugian tersebut kian lama kian besar sehingga ‘PLN’ New Delhi tidak mampu memperbaiki jaringan, mengganti trafo, dan akhirnya jadi pengemis subsidi.

Yang sangat memalukan: kebocoran listrik (loses) di New Delhi mencapai 53 persen. Bandingkan dengan loses di Indonesia yang tahun lalu sudah berhasil diturunkan jadi tinggal 9,85 persen. Loses yang tak masuk akal itu sudah berlangsung bertahun-tahun. Petugas ‘PLN’ India kalah gesit oleh kepintaran rakyatnya mengakali meteran listrik. Operasi pemberantasan pencurian listrik tak pernah berhasil dilakukan. Hari ini diberantas, besok sudah mencuri lagi.

Saya sempat berkeliling bagian kota yang disebut Old Delhi. Saya masuk gang-gang yang kumuh di kota itu. Saya perhatikan kabel-kabel listriknya malang-melintang dan saling bergulat dengan serunya. Saya membayangkan betapa sulit memang mengatasi pencurian listrik di sana. Maka, sebagai senjata pamungkas, sampailah pada keputusan ini: mengubah sistem penyaluran secara radikal. Penyaluran listrik dikerjasamakan dengan swasta. Kalau swasta yang mengurus, mau tak mau menggunakan pendekatan untung-rugi. Petugas penertiban dari swasta akan lebih ampuh bekerja.

Untuk itu, diadakanlah tender. Pemerintah mencari rekan swasta untuk menyalurkan listrik di tiap wilayah.
Di New Delhi diadakan tiga paket tender: wilayah utara-barat, wilayah timur-tenggara, dan selatan-barat daya. Peminat tender itu ternyata cukup banyak. Mengapa? Tarif listrik yang rata-rata Rp1.000 per kWh rupanya cukup menarik bagi swasta. Itu akan berbeda kalau tarif listriknya masih rendah. Dengan tarif seperti itu, asal pencurian listriknya rendah, perusahaan sudah bisa untung.

Tingkat kebocoran itulah yang kemudian jadi pokok yang ditenderkan. Barang siapa bisa menurunkan loses paling rendah, dialah yang menang tender. Di wilayah Delhi utara-barat, grup Tata (konglomerat nomor satu India) memenangi tender tersebut. Waktu tender, Tata menawarkan: sanggup menurunkan loses dari 53 jadi 31 persen secara bertahap dalam lima tahun. Ternyata Tata mampu. Bahkan terlampaui jadi 24 persen. Dua tahun berikutnya menurun drastis lagi. Akhir Desember 2010, kebocoran listrik di Delhi sudah tinggal 13 persen.

Meski masih kalah oleh Jakarta (tahun lalu Jakarta berhasil menurunkan loses-nya jadi 8,3 persen), pencapaian itu luar biasa. Dalam delapan tahun turun dari 53 jadi 13 persen. Maka, Delhi Utara, setelah delapan tahun pembenahan, tercatat sebagai wilayah paling kecil kebocoran listriknya. Loses yang 13 persen tersebut sudah langsung menjadi buah bibir di seluruh negeri. Di Indonesia kini sudah banyak daerah yang loses-nya tinggal 6 persen (sudah setara dengan Korea). Misalnya, di Surabaya Barat, Bukittinggi, Salatiga, dan banyak lagi. Namun, masih ada satu daerah lebih buruk dari New Delhi. Yakni, di Madura yang loses-nya masih 15 persen (sudah turun dari 24 persen dua tahun lalu tapi masih yang tertinggi di Indonesia).

Kalau saja dalam beberapa tahun ke depan loses di New Delhi bisa mencapai apa yang terjadi di Jakarta, perusahaan patungan swasta-pemerintah itu bisa meraih untung yang cukup. Maksudnya, cukup untuk terus memperbarui peralatan listriknya. Demikian juga, pemerintah negara bagian New Delhi tak lagi disusahkan oleh subsidi. Dengan penanggulangan seperti sekarang saja, penghematan subsidinya mencapai 3 miliar dolar AS (sekitar Rp 27 triliun) tahun lalu. Dan yang lebih penting, masyarakat tak ribut karena hidup mati listrik teratasi dan pengaduannya menurun drastis.
Dari mana perusahaan distribusi ini mendapat pasokan listriknya?

Di India, seperti juga di banyak negara, perusahaan listriknya tidak monopoli dari hulu sampai hilir, dari barat sampai timur, dari utara sampai selatan, seperti PLN. Masing-masing negara bagian memiliki perusahaan khusus untuk menyalurkan listrik. Perusahaan-perusahaan distribusi itu masing-masing membeli listrik sendiri-sendiri pula dari perusahaan-perusahaan pembangkit listrik. Tiap tahun perusahaan distribusi listrik tersebut melakukan tender pembelian listrik. Perusahaan pembangkit yang menawarkan listrik termurah, dialah yang menang.

Bagaimana kalau perusahaan pembangkitnya itu berada jauh di selatan? Sedangkan New Delhi di Utara India, sebagaimana juga di negara lain, memiliki perusahaan transmisi secara nasional. Listrik dari pembangkit tersebut dialirkan ke perusahaan distribusi dengan cara membayar sewa transmisi. Dengan demikian, perusahaan transmisi mirip dengan perusahaan jalan tol. Mengenakan tarif untuk listrik yang lewat berdasar besarnya daya dan jauhnya jarak.

Di samping membeli listrik lewat tender seperti itu, perusahaan distribusi listrik kadang juga membeli listrik secara spot. Misalnya, kalau tiba-tiba ada lonjakan pemakaian listrik pada jam-jam tertentu. Mengingat banyaknya perusahaan distribusi dan perusahaan pembangkit, transaksi listrik itu terus terjadi sepanjang hari. Mirip dengan yang terjadi di bursa saham.

Dengan naiknya harga batubara dan gas belakangan ini, pembelian listrik dari perusahaan pembangkit juga naik. Itu memukul perusahaan distribusi mengingat tarif listrik pada pelanggan tak bisa mengikuti kenaikan harga beli listrik. Perusahaan-perusahaan distribusi itu pun lantas meminta kenaikan tarif listrik pada badan otorita yang independen tadi.

Di India, badan independen itulah yang menentukan tarif listrik. Bukan pemerintah atau DPR seperti di Indonesia. Komite tersebut memang ditunjuk pemerintah, tapi tidak bertanggung jawab pada pemerintah. Komite itu benar-benar independen. Seperti komite gaji wali kota dan anggota DPRD di Jepang. Di Jepang, gaji seorang bupati/wali kota dan anggota DPRD ditentukan komite yang ditunjuk Pemda. Anggota komite tersebut terdiri atas sembilan orang. Ada pengusahanya, petani, guru, pensiunan, dan sebagainya. Komite itulah yang menilai berapa sebaiknya gaji para pejabat tersebut.

Demikian juga komite listrik di India. Komite itu berisi berbagai unsur yang dianggap mengerti listrik dan bersifat independen. Komite tersebut bisa mewakili perasaan masyarakat, kalangan industri, dan bisa mengerti juga kesulitan perusahaan listrik. Tidak selalu permintaan kenaikan tarif dikabulkan. Komite akan membahas usul kenaikan tarif secara komprehensif. Perusahaan listrik akan dievaluasi dulu, apakah permintaan kenaikan tarif tersebut wajar atau tidak. Bisa saja setelah dievaluasi ternyata ketahuan kinerja perusahaan listrik tersebut yang kurang baik. Misalnya, loses-nya yang masih tinggi. Karena itu, di dalam komite tersebut terdapat ahli-ahli manajemen, ahli loses, ahli pembangkitan, dan seterusnya.

Sebaliknya, kalau secara objektif melihat tarif listrik sudah seharusnya naik, komite akan menaikkannya. Kalau tidak, perusahaan listrik tersebut akan merugi dan ujung-ujungnya akan hidup mati lagi. Sekali komite itu sudah menetapkan tarif listrik yang baru, pemerintah dan DPR tidak bisa ikut campur.

Adanya komite listrik maupun komite jalan tol ternyata menjadi solusi bagi negara demokrasi untuk mempercepat kemajuan pembangunan infrastrukturnya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar