Senin, 21 Maret 2011

YUSMAR YUSUF



HIJAU KE COKLAT?
RIAUPOS > Sunday, 13 Mar 2011 | Posted by ADMIN

Hijau, coklat, dua warna yang diusung berdasar konvensi sosial, sejatinya bukanlah kenyataan tunggal. Bahwa dia mendaras rasa sejuk, menenteram (hijau); gersang, menggairah dan serba datar  (coklat). Nilai dan  makna ini, terjadi karena konstruksi sosial sekaligus rekonstruksi. Dan suatu ketika, di masa segala kegilaan dilayari dan dilayani, coklat bisa memanggul misi hijau, dan sebaliknya hijau menjulang kemauan coklat. Atau antara coklat dan hijau saling berbaur, berbancuh dalam kekentalan abadi. Tak terungkai dan tiada terurai.

Kota ini penuh ragam slogan, klaim tentang upaya dan ihwal serba hijau. Ikutan generik dari hijau itu menjadi rimbun, menjelma dalam kenyataan berbunga, berputik dan berbuah. Pada ketika itulah sebuah ‘aras pagi’ dan ‘horison senja’ yang sejuk kemayu berpadu menjadi satu untuk ‘kemuaian gelora’ kehidupan segala makhluk pada sebuah kota. Bahwa kota bukan tempat hidup manusia semata. Dan hijau melayani hidupan liar di luar diri manusia di sebuah kota yang gemeretap.

Slogan berkata hijau, tindakan menjelma jadi coklat. Pepohonan yang berusia puluhan tahun menjadi taman memanjang di sebuah jalan protokol, menjadi mangsa dari nafsu-nafsi slogan hijau menuju coklat. Bentangan taman memanjang ini begitu cedera oleh serangkaian beban sejak dari pangkal hingga ujung. Di atas bentangan garis hijau di sebuah badan jalan protokol, di celah pepohonan yang menjadi garis tengah, pagar besi menancap dan memberi efek keras. Di tengah taman memanjang itu, para penjual asongan dan peminta sedekah berjulur memenuhi titik strategis. Garis hijau itu juga ditutupi segala bentuk papan uncapan selamat sejak pernikahan, kematian, aqiqah, pelantikan, peresmian toko, bank dan warung runcit sekalipun. Sehingga pacak-pacakan papan ucapan selamat itu telah mencederai wajah taman kota nan molek, sekaligus menjadi simbol pusat wibawa.

Garis jalan protokol yang hijau, resik, rimbun dan berbunga itu adalah halaman muka sebuah kota. Sekaligus pelantar jiwa warganya. Semakin kemas dan cantik garis jalan protokol sebuah kota, adalah gambaran cantiknya suasana jiwa dan hati warga penghuninya. Semakin semrawut taman memanjang di garis jalan protokol, anda bayangkan sendiri bagaimana warga dan corak pemimpin kotanya. Walhasil, kota ini dirancang dan dibangun oleh para pedagang. Bukan para peniaga yang berselera tinggi. Pemerintah dan warga yang bermutu tidak hadir dalam ‘penghadiran’ kota ini. Dia seakan terlepas dari hiruk-pikuk kemauan besar menjadikan kota ini sebagai kota hijau dan berbunga, yang memuliakan manusia dan segala makhluk hidup yang menumpang teduh.

Slogan kota berujar mengenai gerakan hijau dan penanaman. Namun, sehari-hari kita menyaksikan kematian dan kehilangan pepohonan yang meninggi, jadi pandak dan sirna. Tiang-tiang hidup dan hijau itu berganti dengan tiang-tiang masif, mati dan menyesak kaku, bernama tiang-tiang jembatan yang melintang di atas kepala. Tiang-tiang mati (fly over atau pun jembatan di atas permukaan jalan raya), bakal menjadi pangkalan sektor informal berteduh. Begitu pula anak-anak tunawisma, kejahatan sosial dan seksual akan berspora di kolong-kolong jembatan. Juga menjadi tempat berkumpul untuk mengelak deras terjunan hujan bagi pengendara roda dua, ketika musim hujan jatuh dan berderai.

Bagi pelaku bisnis yang telah membangun gedung-gedung tinggi di sepanjang jalan protokol, kehadiran tiang jembatan vertikal atau fly over, adalah simbol kiamat niaga. Hotel, perkantoran swasta, sektor ritel dan rumah makan, bakal mengalami kematian usaha. Sebab bangunan mereka berada di bawah permukaan jalan dan dikepung oleh pagar tiang-tiang jembatan. Jalan layang itu, sekaligus melayangkan debu, abu, sampah-sampah ringan. Bagi para demonstran, mudah diprovokasi menuju anarkhis, ketika mereka menaiki jembatan layang, menghadang pejalan di lintasan atas seraya menjatuhkan segala benda sejak ukuran ringan sampai berat (drum) ke permukaan jalan protokol yang berada di bawahnya. Sebab, jarak antara fly over itu dengan pusat pemerintahan dan gedung instansi penegak hukum, perbankan, demikian dekat. Berhajat untuk mengurai kesesakan lalu lintas, malah melahirkan persoalan baru dan kian rumit di masa depan.

Di kota-kota yang lebih maju dari kita, fly over selalu dibangun di sudut kota dan dia menjadi bagian dari perturakan lintasan dalam dan luar (interchange) menuju akses  jalan lingkar luar (outer ring road). Jakarta, memiliki ruas Thamrin-Sudirman sebagai jalan protokol dan sekaligus pusat wibawa, tak sebatang tiang fly over yang mengangkang jalanan ini. Sebab dia bakal menghembat segala jenis taman bunga tempat “hinggap mata” para pengendara di sepanjang jalan yang melelahkan itu. pengadaan ruang putar semanggi, adalah bagian dari elemen taman itu sendiri. Dia bukan fly over yang terpisah dengan taman. Dan mungkin tak terbayangkan bagaimana pada sebuah ruas jalan protokol yang pendek seperti jalan Sudirman di Pekanbaru terbentang dua titik fly over pada pelintasan yang amat sempit itu. Dia bakal menjadi kebanggaan mentalitas inferior. Menjadi masalah besar bagi pembangunan kota yang tak terkendali. Inilah akibat dari perspektif pendek kita mengenai ruang-ruang kota yang terbiarkan di pinggir-pinggir kota yang berbatasan dengan kabupaten tetangga, baik Siak maupun Pelalawan.

Ada semacam credo pembangunan Pekanbaru: Jika tak menyentuh kawasan Sudirman seakan tak sah pembangunan itu. masih banyak ruang tersisa yang tak tersentuh oleh pembangunan di kota ini. Kita membangun segala-galanya di sebatang pangkal jalan bernama Sudirman. Dan kita pun menimpuk keinginan antara hijau dan coklat juga di sepanjang Sudirman. Karena segala aset pembangunan itu berada di sepanjang jalan ini, maka jangan salahkan terjadi penumpukan kenderaan di titik yang sama. Kesesakan pun tak kan pernah terurai dari sejarah jalan ini. Keinginan menjadi hijau yang senantiasa berubah coklat itu, tak lebih dari kecelaruan berfikir sekaligus kedangkalan pemikiran pengelola kota.

Pemerintah kita hanya mengutak-atik APBN dan APBD dan menjalaninya secara rutin dan kaku. Rutinitas ini hanya menjelang kematian dan kematian baru. Kata hijau itu sendiri seakan melepas zat maknanya ketika di atas kertas atau kebijakan berjarak dengan kenyataan dan tindakan lapangan. Kita menyaksikan sebuah kota yang bisu, gagu dan tak menghadirkan “rasa” kepada manusia sdebagai penikmanya. Pohon bertumbangan, kemacetan tak terurai, pembebasan lahan di sisi kiri dan kanan fly over tetap diperlukan. Artinya, tanpa fly over pun masih ada jalan keluar untuk menyelesaikan kemacetan. Belajarlah dari konfigurasi persimpangan Sudirman-Arifin Achmad, yang tak mengenal macet. Sediaan garis lengkung separuh parabola, membuat gerak kenderaan lancar, sekaligus juga menghadirkan taman tengah yang molek secara tresterial. Jika bisa hijau, kenapa menuju coklat masif dan mematikan?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar