Selasa, 08 Maret 2011

YUSMAR YUSUF


KOTA LIFESTYLE
RIAUPOS > MARCH 6, 2011
 
Kota; perjumpaan keriangan benua dan keriangan maritim. Dan di sebuah kota yang bergemuruh, ruang-ruangnya behias alunan musik, kelopak warna dan gerak kaki manusia. Kota tak terpisah dengan manusia. Kota dibangun, dirancang, sejatinya untuk melayani manusia. Sebab di dalam kota manusia berdiri tegak, tak rebah, membusung dada, tak letoi. Bergaya, tak sampu dan di kota pula berlangsung eksekusi mengenai puncak capaian karya arsitektur tertinggi pada sebuah zaman. Kota menjadi serangkaian eksekusi demi eksekusi mengenai capaian tak berhingga.

Kota mengikatkan dirinya dengan air dan tanah (kecerdasan aquatika dan kesadaran sempadan). Kota menukil alkisah mengenai hal serba terbatas dalam jumlah ruang dan garis. Untuk itu, sebuah kota yang berpencapaian tinggi, akan menghidang garis-garis jalan yang padat dan nyata alias semua garis bertemu secara simetrik dan asimetrik. Inilah sediaan garis-garis tegas yang diidamkan setiap warga kota, tentang kota yang terjangkau dalam kaidah dan skala manusia. 

Semua ruang dan destinasi publik yang ada dalam kota terjangkau dengan berjalan kaki dan kenderaan tanpa mesin laiknya sepeda. Kawasan pedesterian yang membetahkan pejalan kaki eloklah berbahan pro-resapan air. Sehingga aras muka tanah tidak menghambat resapan atau terjunan air hujan.

Kota yang berpembawaan lifestyle itu, sangat dekat dengan kaidah para pejalan kaki. Kota bukan persoalan lebar dan besar. Tetapi rebakan lebar dan besar itu adalah hasil dari penjumlahan ruang-ruang pejalan kaki yang tersedia dalam konsep blok. Setiap penjuru mata angin yang menjadi sistem merkatori sebuah perkotaan, hendaklah berangkat dari kesadaran untuk melayani gerak manusia pejalan kaki di dalam kawasan blok. Hubungan antar blok ke blok berikutnya, baru dihubungkan oleh garis (line) angkutan masif yang bertabiat transit-operan. Inilah wajah kota feminin sekaligus bertabiat konservasi. Seluruh pertemuan garis jalan yang menjadi persimpangan, hendaklah dijinakkan oleh taman-taman lengkung dengan konsep taman tema [air, bunga, hutan, rimba, belukar, tanaman pekarangan, gantung, sisi, ingatan vernakular].

Pekanbaru lama (old) dirancang dalam kesadaran ruang dengan skala manusia. Semua garis jalan bertemu pada persegi empat, persegi panjang dan trapesium. Tidak ada jalan yang tumbuh secara alamiah dalam model efek pecahan jerawat, yang akhir-akhir ini mewarnai pertumbuhan kota belahan barat. Pekanbaru hari ini adalah kota dengan garis panjang badan jalan yang diikuti oleh fenomena  bangunan ruko dengan gaya meng-ular. Fenomena snakezing ini, bermula dari kawasan Pelita Pantai tepi sungai Siak menjalar bak efek kanker hingga ke Panam, Pandau, dan kejadian ini akan terus berlangsung tiada berhingga, sampai ke Lampung di ujung selatan Sumatera atau Aceh di utara.

Fenomena toko yang berjejer gaya snakezing ini mematikan lahan-lahan yang berada di belakang pertokoan. Menjelma menjadi lahan mati. Dia tak lagi menjadi  sejumlah esksekusi mengenai capaian-capaian tinggi tentang pertamanan pemilik rumah (gardening). Kota ini telah menyalin perubahan-perubahan kaku dalam model bangunan masif kotak-kotak yang berfungsi mirip pagar gergasi di sepanjang jalan. Di belakang pagar raksasa itulah dibangun stadion utama, universitas, rumah sakit, pusat keramaian. Seluruh bangunan publik habis dikepung oleh pagar-pagar raksasa bernama ruko atau pertokoan yang mengular mengikut panjang jalan yang  tak diikat oleh  sistem blok.

Kota yang tak berpangku pada semangat blok, demi melayani gerak terbatas para pejalan kaki, adalah wajah kota mayat (necropolis). Sebuah kota yang tak menarik untuk disiuli   para pelancong dari luar. Sebuah kota yang mahal dari sisi transportasi dan melelahkan. Kota yang memanjakan para pejalan kaki adalah kota seumpama “rumah sport” yang membina ketegaran tubuh warganya  berhadapan dengan rempuhan angin, renyai gerimis. Menjadi sosok tubuh yang tak manja, ulet dan berkadar cergas. Cepat menyesuaikan diri, fleksibel dalam kecerdasan sosial, cergas dan campin dalam mengolah ‘modal sosial’ dan bukan sosok yang cengeng. Kota yang memanjakan para pejalan kaki di lingkungan blok-blok kawasan umum, bisnis dan perkantoran, menjadi serambi bertukar sapa dan silaturahmi, di sini makna lifestyle itu menjadi sulingan dan stilasi relasi sosial. Bahwa lifestyle itu bukan peroalan fashion atau fashionate, akan tetapi memberi peluang bagi warganya hidup lebih indah dan berbahagia. Bisa berbagi dan memberi dalam toleransi kemanusiaan timur.

Inilah makna dari perjumpaan keriangan benua dan keriangan maritim. Semua kota di Riau memiliki syarat mempersuakan keriangan benua dan keriangan maritim itu. Sebab, sebagian besar kota di Riau berada di tepi badan air; laut, selat atau sungai. Lifestyle suasana kota aquatika, diikuti capaian atau eksekusi tentang corak bangunan yang ragam bentuk, dan tak terikat oleh sebuah gejala kebudayaan monologis; Sebuah penyiksaan kebudayaan ketika memaksakan semua bangunan harus menggunakan ornamen selembayung. Selagi di dunia ini orang diberi pilihan bebas untuk mengekspresi diri dan capaian seninya dalam toleransi-toleransi yang berkaidah kebudayaan.

Hampir seluruh warna kota di Riau menampilkan keseragaman dan keserempakan gaya dan bentuk. Ini bukan terjemahan dari visi Riau itu sendiri. Melayu itu adalah fenomena bangsa di perempatan, yang menjadi pangkal dan ujung segalanya bersua. Di sini segalanya bertemu. Melayani kaidah pluralisme kebudayaan bagi pengembangan kota adalah pertimbangan yang elegan-taktis. Sebab, ukuran dari kemajuan sebuah kota adalah sejauhmana keterbukaan dirinya bagi kehadiran orang-orang lain dan ekspresi kebudayaan lain, yang bisa hidup mesra dengan dengan kebudayaan lokal. Inilah kecerdasan Melayu.

Dulu kita membangun gedung kesenian yang megah di Bandar Serai, tetapi bangunan itu tak lebih dari ekstensi (pembesaran) pondok ladang di huma-huma Melayu. Dia tak memberi ‘rasa’ kepada yang melihatnya (terutama bagi pelancong dari luar). Dia hanya sosok sebuah rumah yang diraksasakan dari segi ukuran. Tak lebih dari itu. Kemudian kita menyaksikan tumpukan tugu dan monumen dengan resam lokal yang ditutup oleh payung-payung terkesan aneh, kaku. Sebuah kelakar kebudayaan. Apakah langit Allah Azzawajalla ini bukan payung? Tak mengertikah para perancang monumen atau tugu bahwa benda itu adalah benda seni yang dihajatkan di ruang terbuka, bagian dari installation art? Dan bagian dari garden elements? Sebagaimana candi, wat, kenisah, masjid, gereja, vihara, disucikan oleh manusia untuk menghadap Tuhan, sesungguhnya juga bangunan itu bertabiat installation art yang tak perlu dipayungi oleh payung-payung yang pabrik rumahannya banyak di Tasikmalaya Jawa Barat itu. Makanya dengan kesadaran itu pula saya dan Amrun Salmon merancang monumen etnik di tiga titik di Batam, tidak ditudung oleh payung atau bangunan apapun. He he he horee. Entahlah… menangkap lifestyle dalam pikiran seorang pariah? Lifestyle itu bukan wilayah mahal, tapi sesungguhnya dia serba murah, hijau dan merawat (cheap, green, conserved). Bersoraklah! Melawanlah!
 
 

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar