Senin, 07 Maret 2011

FEIZAL QAMAR KARIM


CASING
RIAUPOS > March 1, 2011

Casing (baca: kesing) berasal dari kata Bahasa Inggris case yang berarti cangkang atau sampul kaku dari suatu alat seperti komputer, radio, handphone.

Zaman industri dengan sistem ban berjalan sekarang, barang-barang bisa diproduksi secara mandiri sehingga cangkang suatu produk tersedia di pasar secara terpisah. Implikasinya, hari ini suatu barang bisa saja tidak sesuai antara tampilan casing-nya dengan kualitas isinya.

Dalam pergaulan, kata casing dapat dipakai untuk menggambarkan seseorang atau barang yang tidak sesuai antara penampilannya dengan kualitas diri atau isinya. Sebagai contoh, dulu dikenal komputer jangkrik yaitu hasil rakitan yang dimasukkan ke casing bermerek.

Ketika itu banyak orang yang tidak mengerti membeli komputer rakitan lokal yang tidak memadai kualitas komponennya dalam sebuah casing bagus dengan berbagai aksesoris, sebagaimana hari ini banyak dijumpai pula pada handphone.

Di lingkungan promosi dagang hari ini, penggunaan aksesoris dan casing untuk ‘’membungkus’’ isi yang kurang berkualitas nampaknya suatu hal yang dihalalkan.

Analogi ini, juga bisa kita berlakukan pada orang, institusi, ideologi, dan sejenisnya.
Seseorang yang penampilannya luar biasa dengan pakaian, kendaraan, perhiasan, dan aksesoris yang terlihat mewah tetapi bisa jadi semua itu imitasi atau barang hutangan, maka bisa dimisalkan sebagai ‘’hebat casing-nya aja’’.

Sebaliknya, orang yang sederhana, dengan apa yang dia punya bisa tampil necis, rapi, dan dapat menunjukkan intelektualitas serta maturity, maka orang akan lebih menghargai dan mengatakan dia lebih bagus dari casing-nya.

Suatu organisasi atau partai juga bisa ditamsilkan sama: punya visi, misi, dan ideologi yang muluk tapi implementasinya tidak sesuai, dapat dikatakan bagaikan sebuah komputer dengan casing bermerek tapi kinerjanya lemah.

Aktivitas fungsionaris organisasi semacam ini biasanya menonjol hanya ketika memerlukan dukungan namun secara total tidak mendasar dan tidak produktif. Demikian pula sebuah visi lembaga atau organisasi, bisa memuat gambaran yang sangat baik dan manfaat namun tidak menunjukkan bagaimana cara dan upaya mencapai visi itu.

Contoh yang juga sangat relevan adalah Visi Riau untuk jadi pusat kebudayaan Melayu, yang identik dengan Islam, di Asia Tenggara pada 2020. Sesuai perumpamaan tadi, visi itu bisa dianggap sebagai casing yang sudah bagus dan lengkap aksesorisnya.

Yang lebih penting adalah bagaimana mengisi casing itu dengan roadmap yang komprehensip dan berkualitas.

Visi itu tentu tidak cukup hanya dengan aksesoris berupa pakaian dan abjad Melayu, tapi mestilah dikembangkan secara asasi dalam kehidupan. Kepada generasi muda sudah harus dikenalkan dan ditanamkan adab-adab berpakaian, makan-minum, pergaulan, akhlak terhadap orang tua dan guru, lingkungan, berkesenian, olahraga, perdagangan, dan kehidupan secara luas.

Untuk itu visi tadi perlu kita patri sebagai komitmen, lalu membuat roadmap yang komprehensif dan implementasinya. Semoga Riau menjadi negeri yang Gemilang, Cemerlang, dan Terbilang.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar