Senin, 21 Maret 2011

FEIZAL QAMAR KARIM



TSUNAMI
RIAUPOS > Wednesday, 16 Mar 2011 | Posted by IDRIS


Tsunami pertama kali saya kenal ketika seorang guru SD menjelaskannya 43 tahun yang lalu, yaitu sebagai gelombang pasang akibat letusan gunung api.
Kami para anak murid hanya bisa membayang-bayangkan saja bagaimana besar dan daya rusaknya gelombang tsunami karena terbatasnya informasi dan bahan ajar ketika itu.

Kebetulan pula, barulah tahun 2004 kita mengalami terjadinya tsunami di Aceh yang memakan korban sekitar 250 ribu jiwa. Dan Jumat (11/3) lalu terjadi lagi di Timur Laut Jepang.

Dalam bahasa Jepang tsunami adalah ombak besar di pelabuhan. Dalam keilmuan berarti gelombang akibat gempa dengan episentrum di laut, baik karena letusan gunung api maupun gempa tektonik.

Yang menimbulkan tsunami adalah gempa akibat pergesaran lempeng kontinen dengan gerakan vertikal sehingga terjadi perubahan volume air laut secara mendadak.

Gelombang yang dengan energi besar sekali ini merambat dengan cepat dan tinggi yang lebih dari gelombang badai yang akan bertambah tinggi ketika mendekat ke pantai karena dangkal.

Energi dan volume air yang sangat besar inilah yang menerpa apa saja yang dilalui. Bila daerah itu tidak terlindung barrier atau sudah terkena dampak gempa yang mendahului, maka akibat gelombang tsunami akan sangat parah sebagaimana yang terjadi di Aceh dan Jepang hari Jumat lalu.

Jika dibandingkan dengan di Aceh, di Jepang korban manusia jauh lebih sedikit. Jepang memang sudah terbiasa dan banyak pengalaman dengan gempa dan tsunami.

Terlihat di televisi bagaimana orang-orang Jepang terlihat relatif tenang ketika melakukan langkah penyelamatan. Dilaporkan juga bagaimana mereka tetap tertib untuk naik bis meskipun bumi sedang berguncang.

Setelah terjadi gempa dan tsunami pun pembagian air bersih, pembelian bahan makanan, di stasiun bahan bakar dapat berjalan tertib serta tidak terdengar adanya penjarahan.

Ini tentu bukan hasil dari satu dua hari. Pemerintah dan segenap komponen masyarakat di Jepang cukup memahami antisipasi bencana alam. Tata ruang dan bangunan sudah mengacu pada keperluan itu; rumah-rumah penduduk dibangun jauh dari pantai dan infrastruktur dibangun dengan memperhatikan kemungkinan bencana.

Program mitigasi bencana sudah menghasilkan kesiapan menghadapi bencana, tanggap darurat, dan pemulihan. Pemahaman ini sudah masuk dalam kurikulum sehingga anak-anak sekolah dan masyarakat memahami standart operating procedures (SOP) menghadapi bencana.

Sebagai contoh, ketika ada gempa dengan tenang mereka akan berlindung ke bawah meja, menjauhi dinding kaca, atau mendekat ke bagian pojok di dekat tiang yang kokoh.

Momentum ini, sepatutnya jadi hikmah bagi kita. Selain untuk introspeksi sikap dan perilaku diri dan kolektif, juga untuk mengingatkan apa yang belum kita lakukan untuk mengantisipasi bencana. Naudzubillahi, semoga kita senantiasa terhindar dari berbagai bencana.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar