Senin, 21 Maret 2011

YUSMAR YUSUF



JALAN BUNTU
RIAUPOS > Sunday, 20 Mar 2011 | Posted by ADMIN

Kota bukan peristiwa sebatang jalan. Apatah lagi ketika sebatang jalan itu berstatus jalan buntu. Berapa lama kota Pekanbaru disiksa oleh pemandangan jalan buntu yang berujung pada tebing sungai. Jalan buntu itu menyiksa dirinya sendiri, karena jalan itu merangkap jalan protokol, jalan arteri atau jalan utama di kota ini. Di batang jalan inilah zero ground (kilometer nol) kota terpacak. Tapi, jalan ini tak lebih dari sebatang gang buntu. Orang luar yang baru pertama berkunjung ke kota ini, memiliki file yang terang benderang, bahwa kota Pekanbaru adalah kota sungai. Terletak di tepi sungai nan dalam. Namun, ketika tiba di kota ini, orang sama sekali tak bisa menyaksikan liuk cantik sungai secara sempurna. Sungai seakan laman belakang kota ini. Maka kota ini tak layak disebut sebagai kota yang “menghidupi air”. Akan tetapi, kota ini hidup dari air yang salah.

Kenapa takut meninggalkan area Pekanbaru tua yang hari ini mencakup kawasan Senapelan lama dan pasar pusat? Kenapa pemerintah kota tak pernah bermimpi memindahkan ibukota pemerintahan di luar garis kawasan tua ini? Misalnya ke Limbungan atau Okura? Kota bukan peristiwa meninggi dan menungkai yang ditandai pengadaan gedung-gedung jangkung. Kota adalah peristiwa sekat-sekat horisontal yang memberi ruang gerak dinamis bagi warganya, bagi manusia dan segala hidupan yang menumpang di atasnya. Sekat-sekat horisontal inilah yang melayani gerak tresterial manusia dengan sisi sosialnya. Gerak manusia dalam ruang vertikal seakan menghadirkan zombie waktu yang kaku, dingin dan terkesan anti-sosial.

Jalan buntu itu telah menjalani tugas sejarah yang panjang. Dian tidak menjelaskan tentang “mengapa” jalan itu terjadi. Yang disediakan oleh sebuah jalan buntu adalah penjelasan “bagaimana” manusia menelikung dan bergerak untuk mengelak dari kejatuhan, mengelak dari benturan dan menyudahi sebuah perjalanan yang tidak semestinya selesai. Kehadiran sebatang jalan protokol dengan status jalan buntu inilah yang menjadi inspirasi pengembangan kota ini dengan gaya sporadis dalam model ledakan ‘pecahan jerawat’. Lihatlah kawasan nan luas di kawasan barat Pekanbaru, dihuni oleh pemukiman yang lebar, padat dan tidak dihubungi oleh garis-garis jalan nan tegas. Semua jalan dan jari-jari jalan saling tak bersambung alias menggantung. Inilah efek kawasan yang dibangun dengan model efek “pecahan jerawat”. Dan fenomena ini dapat kita saksikan di kawasan Panam, Rumbai, Tenayan dan beberapa kantong pemukiman di kawasan batas kota dengan kabupaten jiran.

Jalan dan jari-jari jalan yang menggantung dalam model “pecahan jerawat” ini terjadi karena para pengembang perumahan membangun koloninya masing-masing dalam kantong-kubah bentang lahan. Pemerintah tidak hadir untuk mempertegas singgungan garis-garis jalan dengan kantong pemukiman yang berada di sebelahnya sehingga garis jalan itu menjadi tegas dan tidak menggantung. Inilah wajah kota yang dibangun bagai letupan kembang api. Setiap kembang api merayakan pecahan “panah apinya” masing-masing untuk pandangan mata manusia dalam kandungan ruang malam gelap yang tak mengenal garis batas.

Sebaliknya, kandungan pemukiman dengan garis menggantung dalam model efek ‘pecahan jerawat’ itu terhidang dalam sebuah bentangan ruang yang menghargai atau memang seharusnya menghargai garis-garis sempadan dan sekaligus menjunjung prinsip-prinsip kepemilikan publik dan privat yang bersebelahan dengannya. Di sinilah negara, dan pemerintah seakan mengelak dan absen. Dia memerankan diri selaku pemain judi, bagian dari spekulan yang bermain dalam ruang serba temaram, kalau untung ya untung dan kalau rugi tanggunglah bersama oleh kalian (wahai warga).

Jika jeli, teliti dan cermat, berapa batang jalan yang berstatus sebagai jalan buntu yang berada di kota ini? Walau belum begitu sempurna, lakukan melalui “mesin pencari” Google, dan lacaklah: map of Pekanbaru. Anda akan terkejut, bahwa kita adalah bagian dari warga yang bermukim dalam sebuah kota yang di dalamnya terkandung garis-garis jalan yang menggantung. Dia berstatus sebagai kantong atau benteng bagi spora kejahatan sosial. Karena di ujung garis yang menggantung, segala perbuatan    vandalisme, kekerasan, penjambretan, perampokan, mudah bersarang. Di ujung jalan yang menggantung segala pelaku tindak kekerasan sosial, dengan enteng bisa menyudahi dengan cara “melenyap”, “penghilangan” dan malah meng-alibi-kan diri. Sebab garis jalan yang menggantung adalah bagian dari sebuah kisah mengenai “penyudahan”, “penyelesaian” dan menggantikannya dengan “peran-peran baru”. Di sana ada dan tersedia kamar gelap atau kamar ganti pakaian atau kamar ganti watak @ peran. Berikutnya, di pangkal jalan penelikungan itu, para pelaku kejahatan dan kekerasan sosial itu muncul kembali dengan wajah manusia dan bila perlu bertabiat malaikat, menjelang memperoleh mangsa baru untuk tindak kekerasan sosial berikutnya. Begitulah pengulangan-pengulangan itu terjadi.

Di sebuah ujung jalan yang menggantung dan buntu, kehidupan kota seakan berhenti berderap. Dia hanya menghadirkan ‘layar kehidupan’ yang asing dan berjarak dengan dinamika kehidupan urban. Di sini terbangun sebuah abnormalitas dalam bisu. Dalam bisu, senyap dan gagu, kehidupan berlangsung tanpa dialog urbantude (tabiat madani). Di sini segalanya sudah, segalanya selesai dalam diam dan senyap. Di sini, bertanya dan pertanyaan, dialog atau debat segalanya terhenti.

Dari sini kita secara tak sadar telah membangun peradaban kota yang egois, sebuah kota yang tak bersambung dengan ‘rasa-rasa’ nan lain yang berada di luar garis sempadan kota ini. Di sini, kita menghentikan segala kaidah hidup bersama dengan para tetangga yang hidup di wilayah administrasi berbeda. Kita terpenjara dalam sebuah “pulau kehidupan” yang menjadikan kita sebagai makhluk alien dengan ruang-ruang tanah lain yang semenda sejatinya adalah kampung-kampung Melayu yang berada di Pelalawan dan Siak. Kita menumpang pada garis-garis jalan nasional yang menghubungkan Pekanbaru dengan kampung-kampung Melayu yang berada di Siak dan Pelalawan. Artinya jika tak ada jalan nasional yang melintas, maka tak ada ikhtiar dari diri sendiri untuk menghubungkan kota Pekanbaru yang mengklaim diri sebagai pusat kebudayaan Melayu ke hulu-hulu “mata air” tradisi Melayu bernama kampung-kampung Melayu di Siak dan Pelalawan dan seterusnya.

Ketika ini diungkai secara cermat, kita pun menjadi gamang, bahwa status klaim sebagai pusat kebudayaan Melayu itu tak lebih dari  sebuah fenomena klaim sepihak. Jika diibaratkan Pekanbaru itu adalah muara atau samudera kebudayaan Melayu, sejatinya dia memiliki garis-garis yang jelas dan tegas dengan sumber-sumber “mata air” tradisi dan kebudayaan Melayu yang berada di hulu bernama kampung-kampung Melayu. Jika kaidah ini disepakati, maka kita pun layak bertanya, selama ini di mana hulu tempat “mata air” tradisi dan kebudayaan Melayu yang menjadi sumber “mata air” kebudayaan Melayu bagi Pekanbaru? Kita pun pantas meragukan segala tindak perbuatan dan kearifan Melayu yang berlangsung di kota ini, rupanya hanya sebuah akal-akalan para konstruktor yang mengklaim diri sebagai Melayu; seolah santunlah yang menjadi fiil Melayu sejati. 

Berhentilah dalam gairah yang serba buntu…



Tidak ada komentar:

Posting Komentar