Selasa, 08 Maret 2011

BERSIHAR LUBIS


KILLING ME SOFTLY, PAK SBY!
RIAUPOS > MARCH 7, 2011

KOMENTAR Pramono Anung, yang saya baca di surat kabar beberapa hari silam, sangat berkhayal. Wakil Ketua DPR dari PDIP itu mengibaratkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bagai koboi. Mengacungkan pistol, tapi lalu menyarungkannya lagi. Mas Pram, rupanya sedang mengomentari peringatan SBY kepada partai koalisi pemerintahan yang dianggap membangkang.

Pramono tampaknya tak sabar. Terkesan bahwa pistol Pak SBY itu hanya kosong. Tapi saya kira, tidak! Senjata genggam itu ada pelurunya. Sewaktu-waktu bisa meletus, dor-dor! Tentu, dalam bahasa metafor. Saya kira beberapa hari ke depan ini, korban akan jatuh. Mudah ditebak siapa yang jadi korban karena wacana publik memfokuskan kepada partai koalisi pemerintahan yang diminta tetap setia, baik yang berada di eksekutif dan legislatif. Maklum, Golkar dan PKS malah mendukung hak angket mafia pajak, sementara kolega mereka Partai De-mokrat, PKB dan PPP menolaknya.

Kira-kira, dalam waktu dekat ini setelah melakukan evaluasi, maka SBY akan me-resashuffle kabinet, mungkin melepas  beberapa menteri. Siapa? Agaknya, sejumlah menteri akan menunggu dengan hati berdebar. Reshuffle, khususnya yang tidak berkinerja bagus, dan apalagi membangkang kepada kesepakatan Parpol koalisi pemerintahan patut dilakukan. Ya, suatu vonis. Setidaknya agar tidak ada lagi yang melakukannya di masa depan sehingga pemerintahan bisa solid dan seiring sejalan dalam melaksanakan program.

Saya teringat kisah klasik dari Sun Tzu. Dia diminta melatih tiga selir kesayangan Kaisar agar bisa jadi permaisuri yang baik. Namun saat dilatih tak becus. Malah menguap atau asyik berbual. Padahal Sun Tzu telah diberi Kaisar wewenang dahsyat. Jika gagal juga, Sun Tzu akan memancung leher mereka. Ketiga selir itu diberitahu bahwa eksekusi dilakukan setelah sang surya terbit besok pagi. Ketiga selir itu ketakutan dan mengadu kepada Kaisar. Sun Tzu pun dipanggil. “Jenderal akan memancung ketiga selir kesayanganku itu?” “Benar, Kaisar.” Tiba-tiba Kaisar minta eksekusi dibatalkan. Tak pelak, Sun Tzu berkata bahwa Kaisar tidak teguh pendirian. Jika tak berani, maka para selir itu akan kian besar kepala. Harus berani bertindak, supaya yang lain jera.

Untunglah, Kaisar menyerah. Esoknya kerajaan heboh. Eksekusi berlangsung di depan ke-97 selir lainnya. Sun Tzu mengumumkan tiga selir berikut untuk dilatih lagi. “Bila gagal juga, Anda bertiga akan dipancung,” kata Sun Tzu.

Tampaknya sejak masa peringatan SBY hingga hari-hari ini, para petinggi Parpol pendukung pemerintah sedang diuji. Bahkan, SBY akan bertemu langsung dengan pimpinan Parpol. Apakah mereka tetap kukuh bersama koalisi, baik di eksekutif maupun di legislatif. Jika tidak, maka pistol pun akan meledak. Para menteri, kader Parpol koalisi itu akan terkena reshuffle. Bagi saya, masa luang ini aneh. Bukankah sudah jelas Parpol mana yang membangkang dan sebaliknya setia terhadap pemerintahan? Seluruh negeri ini sudah tahu bahwa Partai Golkar dan PKS telah menikam kehendak partai koalisi dalam kasus terbaru, yakni hak angket mafia perpajakan.

Logikanya, kok, teman seiring alias sekoalisi masih suka menjadi musuh dalam selimut? Mengapa tak langsung dibuang  saja? Apakah ini gerangan, yang dimaksudkan oleh Roberta Flack dalam lagunya yang pernah kondang itu, “Killing Me, Softly?”  Saya sendiri punya logika berbeda. Bahwa, haruslah dilihat bagai kinerja para menteri selama ini. Yang berapor merah pantaslah didepak. Sementara yang berkinerja bagus patut dipertahankan. Soal hak angket yang gagal itu, adalah soal lain lagi, yang bisa dirundingkan dengan Parpol koalisi, seraya merumuskan kesepakatan baru, atau penegasan ulang kesepakatan lama.

Agak membingungkan pula wacana yang menyebut PKS lebih patut ditendang. Selain gemar berseberangan dengan kebijakan pemerintah, juga karena mempunyai empat kursi di kabinet, padahal suaranya di DPR tak sebanyak kursi Golkar, yang justru hanya meraih tiga kursi di kabinet. Dus, kebersamaan dengan Golkar layak dipertahankan. Logika apa ini? Tampaknya kepentingannya sangat bersahaja, dan sesaat. Yakni, jika ada voting di DPR maka suara partai koalisi akan unggul. Keinginan itu ternyata tak berbanding lurus dengan fakta politik. Terbukti, walau PKS dan Golkar berseberangan dengan Partai Demokrat, usulan hak angket itu tetap gagal. Lobi dan permainan politik ternyata lebih menentukan.

Mestinya fokus reshuffle adalah kinerja. Yang prestasinya turun diganti saja, tetapi yang berkinerja baik jalan terus saja. Logikanya, kabinet ditempati orang yang tepat yang memungkinkan pencapaian tujuan, yakni perwujudan kesejahteraan masyarakat. Reshuffle yang hanya bertujuan jika ada hitung-hitungan suara di DPR terhadap kebijakan pemerintah, rasanya out of focus. Kinerja menjadi terlupakan, padahal fokus itulah yang didambakan masyarakat. Dikhawatirkan kabinet hasil reshuffle jika jadi dilaksanakan —lebih bernuansa politik ketimbang kinerja. Tak mustahil kelak jika kinerja merosot, partai sekoalisi tetap mendukungnya dan tidak kritis dengan alasan teman seiring harus selalu setia. Wah, ini sangat merugikan rakyat.

Reshuffle bagaimanapun adalah hak prerogatif presiden. Tetapi jika alasannya semata demi penguasaan suara di parlemen, patut ditinjau ulang. Kembalilah kepada alasan murni dari reshuffle, yakni the right man on the right place. Lagipula kita menganut kabinet presidensial, bukan parlementer. Sayangnya, praktik kenegaraan kita terlanjur bak kabinet parlementer. Tidak mengherankan jika penentuan siapa yang duduk di kabinet selalu ditentukan oleh partai pendukung. Presiden terpilih seolah-olah tersandera menampung aspirasi partai politik pendukung. Nah, jika reshuffle ditempuh juga pasca gagalnya hak angket mafia pajak, tiba masanya presiden melakukan berdasarkan kinerja. Bukan berdasarkan dukungan politik.

Seraya menunggu detik-detik reshuffle, siapa gerangan pengganti siapa? Bagi rakyat yang penting, jangan pula penggantinya lebih teruk. Bahkan, menteri yang partainya setia di DPR pun tapi kinerjanya buruk, layak juga diganti. Sebaliknya, yang fraksinya kritis di DPR belum tentu menteri yang buruk. Fraksi yang membangkang memang menjengkelkan, tetapi fraksi yang, maaf, membeo juga menyebalkan. Ah, lagu “Killing Me, Softly” itu memang boleh juga diresapi Pak SBY.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar