Selasa, 08 Maret 2011

HASAN JUNUS


SULTAN DEGIL
RIAUPOS > FEBRUARY 27, 2011

Lebih-kurang sebulan lamanya pulau Penyengat tertawa terkekeh-kekeh. Kenapa? Karena ulah Pak Urip; ia ingin sekali ikut main dalam sandiwara kampung merayakan hari kemerdekaan republik. ‘’Biar saya yang jadi Patih Kerma Wijaya ya!’’ katanya. Dan malam itu sang patih pun beraksi. Karena Sultan Melaka tak mau mendengarkan nasihatnya dengan suara melengking ia menghardik raja, katanya, ‘’Patek sudah bilang jangan jangan, tuanku degil!’’ Panggung bertiang batang kelapa pun berguncang. Sultan tak dapat menahan ketawa, juga putri dan para inang-dayang. Bahkan dua orang pengawal yang terus membisu sambil memegang tombak saling memandang dan meledakkan ketawa. Pak Urip pun ikut tertawa. Lalu akumulasi ketawa memanjang ke para penonton.

DENGAN munculnya Patih Kerma Wijaya mengucapkan, ‘’Patek sudah bilang jangan jangan, tuanku degil!’’ sandiwara yang dinamakan juga Wayang Bangsawan rusak itu menjelma menjadi pembentangan teater posmo. Jadi kalau ada orang bertanya siapakah yang membawa seni posmo di pulau sebesar sampan itu tidaklah salah kalau disebutkan secara mantap nama Pak Urip.

Mulai hari (tepatnya: malam) itu setiap hari anak-anak kecil lewat di depan rumah Patih Kerma Wijaya, anak-anak kecil menjerit, ‘’Patek sudah bilang jangan jangan, tuanku degil!’’ Lebih kurang sebulan lamanya pulau Penyengat tertawa terkekeh-kekeh. Ada renik-renik keriangan menyelinap di suatu kawasan yang suram, muram dan menjemukan.

Sejak itu Pak Urip tak mau lagi menjadi Patih Kerma Wijaya, sudah jera teman kita itu main sandiwara. Meskipun ia sudah berjasa memperkenalkan sekila-lintas seni posmo dalam sandiwara kampung yang disebut juga Wayang bangsawan. Seorang pakar wayang bangsawan dalam disertasinya menamakan Wayang Bangsawan sebagai Opera Melayu. Tapi teman saya yang sering muncul di kantor Majalah Budaya Sagang menamakannya opera rusak. Sebenarnya penamaan itu tak berhenti dengan gelar-gelaran ‘’opera rusak’’ tapi juga seni pertunjukan yang amat rusak. Mengapa begitu? Sebab salah-satu pilar dari opera Melayu yang rusak atau tidak ialah setiap dialog dalam seni pertunjukan itu conditio nine qua non harus diantarkan dengan nyanyian. Pada opera rusak, karena orang sekarang yang mau menjadi pemain tak lagi pandai menyanyi maka nyanyiannya dihapus. Tambah parahlah kerusakannya dengan begitu.

Kreativitas terletak cuma tiga setengah langkah ke arah kegilaan. Sebelum mati si pelukis yang terbunuh masih sempat menggapai cat di lantai dan menggoreskan dua warna di kanvas yang kosong: warna hitam dan warna biru. Detektif yang merisik pembunuhan ini melihat ada beberapa kumpulan sajak Arthur Rimbaud di rak buku. Setelah bermenung dan merenung beberapa jam ia mulai mendapat titik terang. Pembunuhnya mungkin seorang yang bernama Albert Oudenbourg. Namun  belum tentu Albert Oudenbourg seorang lelaki. Lazimnya itu memang nama lelaki, tapi siapa tahu si Albert bisa saja seorang banci, pondan, wadam, hermaphrodite, transseksualis atau androgini yang baru keluar dari penjara atau lembaga pemasyarakatan, dan ia lama berpraktek sebagai pelacur atau lonte atau WTS atau PSK.

Sebelum terlalu jauh merayu baiklah kita batasi pada penemuan nama Albert Oudenbourg oleh detektif kita. Larik pertama sajak Arthur Rimbaud ‘’Voyelles’’ (Huruf-huruf Hidup) membuka tabir karena di situ tertulis: A noir, E blanc, I rouge, U vert, O bleu,… yang menyatakan A itu hitam, E putih, I merah, U hijau, O biru). Jadi hitam dan biru barangkali inisial dari A dan O. Kegilaan Rimbaud dengan sajaknya telah membantu menyingkap siapakah yang membunuh sang pelukis.
 

Kegilaan dalam seni tak pernah berhenti karena setiap karya garda depan senantiasa terasa aneh pada mulanya tapi membawa keriangan pada akhirnya. Arthur Rimbaud (1854-1891) ialah seorang pemuda kreatif yang pada usia 17 tahun telah menghasilkan karya-karya yang sangat diapresiasi.

Le Clézio (lahir 1940) dalam karyanya Procès-verbal membuat kegilaan dengan mengemukakan tokoh sinting Adam Pollo. Selain tokoh yang amat sinting karya itu diantarkan dengan semacam kegilaan yaitu banyak sekali memakai kata-kata yang sengaja dicoret tebal dan tipis.

Suatu contoh lagi kegilaan dan karya sastra dapat dijumpai dalam karya Georges Perec yang pada tahun 1969 menerbitkan roman/novel La Disparition. Roman setebal 300 halaman ini ialah kisah tentang hilangnya huruf E dalam alphabet. Seperti seorang detektif, pengarang Georges Perec berupaya terus menerus dari halaman ke halaman untuk menemukan huruf-hidup yang hilang itu. Namun baru pada roman/novel Perec yang lain Les Revenentes (1972) terjadi peristiwa baru tentang huruf  E, yaitu E jadi satu-satunya vokal yang terpakai. Pembacaku yang baik, Anda bayangkanlah dahsyatnya roman-roman itu jadinya.

Tapi dari salah-satu buku Foucauld kita diberitahu bahwa dulu orang-orang sinting dikumpulkan lalu dimasukkan ke dalam kapal yang berlayar di sekolah lautan dunia. Keadaan ini diabadikan oleh Sebastian Brant dalam karyanya yang terbit tahun 1494 Stultifera Navis yang segera diterjemahkan ke bahasa Jerman menjadi Das Narrenschiff. Berdasarkan kisah inilah kemudian seorang pengarang wanita Amerika Serikat Katherine Anne Porter mengarang novel setebal bantal dan sangat terkenal, The Ship of Fools.

Tahukah Anda, pembacaku, bahwa kelak akan datang seorang pengarang muda yang dengan cermat meneliti siapakah orang-orang sinting yang disebutkan dalam karya-karya tersebut tadi? Jangan terkejut kalau hasil penelitian pengarang yang belum muncul itu ternyata yang disebut orang-orang sinting itu lebih 50% terdiri dari para seniman.

Mengapa begitu? Karena seniman ialah orang paling degil yang senantiasa berupaya berada di luar rel, deraillement, karena sering disamakan dengan orang sinting. Seniman yang tertib, yang sesuai sejalan dengan alur dan patut tak akan pernah dapat menciptakan karya yang signifikan yang mendebarkan dan senantiasa membangkitkan kekaguman, apalagi tiada akan dapat menciptakan karya yang menggoncangkan. Degillah kau, seniman! Memang itulah jalanmu!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar