Senin, 21 Maret 2011

YUSMAR YUSUF



BIJAK DI AWAN

RIAUPOS > Wednesday, 9 Mar 2011 | Posted by IDRIS

 

Peralihan dari peristiwa masin menjadi tawar, pada sebuah zaman yang telanjang. Peralihan itu berbungkus baju istana dan kebenaran demagogi. Dan Melayu pun mengalami proses individuasi pada diri perorangan.

Bahwa kebijaksanaan kolektif yang menjadi milik bersama dan tersadai di pangkuan masyarakat tradisi, diragut dan “dirampok” menjadi milik para paduka yang beristana di awan.

Sesuatu yang berpembawaan masin secara alamiah, bersalin menjadi tawar. Begitulah nilai Melayu telah terpersonifikasi pada diri individu. Kebijaksanaan itu telah mengalami pelembagaan “formal” oleh pelaku kebudayaan.

Usia menua juga berpengaruh pada gempita puja dan puji hari ini. Pada ketika itulah manusia mabuk membongkar, menggali apa-apa yang dianggap jasa masa lalunya, puncak gunung masa lalu, apa-apa yang dianggap mustika masa lalunya.

Kemudian dihidang dalam format kekinian, dikemas dalam sorak sorai sebagai peneguh atas kelakuan mulia (white history) seraya membenam dalam-dalam dimensi abu-abu (black history) yang melekat di hayat perjalanan biografis.

Ikutannya, dalam bentuk impression management atau pengelolaan kesan, sehingga masyarakat memperoleh kesan yang serba baik dan kemilau ke atas sosok pribadi ini dan itu.

Manajemen kesan ini sedang mabuk-mabuknya di era yang sebagian besar awam menjulang segi-segi pencitraan. Tokoh-tokoh kita yang sejak zaman ketumbar menaiki pentas, seolah tak ikhlas kehilangan pentas atau berbagi pentas dengan kaum yang lebih muda.

Mereka seakan menolak hukum alam (natural law/ sunatullah), bahwa proses menua, juga adalah pertanda pentas yang dinaiki berwarna senja menjingga dan sudah saatnya menggulung layar. Cukup di belakang panggung. Nyatanya, kita adalah sederet manusia yang gamang kehilangan pentas.

Manajemen kesan, tak bisa lepas dari serangkaian kenduri dan upacara serba menyerbuk wangi dan mengedepan wajah istana sentris. Para tokoh sengaja kita giring menjadi pengantin sepanjang hayat, sehingga tiada karya besar yang dihasilkan dari pangkal hati.

Semua karya kebudayaan dihajatkan untuk sebuah pameran besar   ekstravaganza yang kemilau dalam selimut penguasa. Dan para penguasa pun harus meluncurkan kata puja dan puji kepada sosok tokoh.

Seolah tiada tokoh lain dalam kebudayaan yang lebih besar. Padahal tokoh besar-besar itu, senantiasa bertindak senyap dalam kesunyian kebudayaan. Mereka menghindari gegap gempita upacara dan kenduri-kendara yang hanya habis di ujung gemuruh tepuk tangan para undangan dalam sebuah majelis simbolik apakah itu pelancaran buku atau ulang tahun pernikahan emas.

Begitulah cara Melayu mempaduka diri dalam ruang kekinian. Setelah segala perkakas beraroma bijak dan bajik diambil dari ladang sejati bernama rakyat jelata dan komunitas penikmat idaman kolektif,  paduka kebudayaan lalu membangun “tembok” dan berjarak dengan sumber bijak itu. Kebijaksanaan itu pun telah menjadi milik perorangan sang paduka.

Pada tahap ini proses individuasi terjadi secara serampangan sekaligus mendistorsi sejarah. Lalu, sejarah ditafsirkan secara tunggal. Segala ihwal yang tak seronok dalam pertimbangan pribadi, kuplet, cuplikan yang tak menguntung Melayu dari sudut cahaya kekinian, mengalami suntingan, mengalami bentukan baru, sehingga terkesan Melayu itu serba halus, santun dan fine.

Padahal tak ada kebudayaan yang 100% fine, halus dan santun. Dimensi garang, cergas, tegas yang terkadang menghalangi bentuk kesantunan awam, juga diperlukan oleh sebuah kebudayaan ketika dia hendak diperhitungkan oleh kebudayaan yang bersebelahan dengan kebudayaan Melayu.

Nyatanya, kebudayaan Melayu hanya sibuk mengurus perihal santun dan kesantunan. Seolah-olah, kebudayaan tinggi itu adalah kebudayaan yang menjunjung kesantunan saja.

Jika hendak diperiksa secara kritis, apakah bentang kesantunan yang diidamkan pada hari, adalah sebuah cara untuk menutup ketidak-santunan kita di masa lalu? Atau sebuah garis yang memisahkan masa lalu yang belum santun dengan masa kini yang serba santun di awan?

Kebudayaan Melayu hari ini telah menjadi milik individu dan diperkuat melalui model patron perorangan. Seolah kebudayaan ini merindukan seorang paduka yang bertahta, berhias di peterakna. Indah dan molek dilihat, tapi tak memiliki getar dan daya apa-apa bagi kehidupan nyata.

Dia tak lebih dari serangkaian abstraksi yang tak mungkin dijadikan realita sosial, apatah lagi menjadi tatanan sosial. Kita diseret dalam kemabukan dan ekstase individu mengenai alamat normatif dan nilai tentang kebudayaan.

Kita mendaraskan kebudayaan itu bagai firman perorangan, dan sang penurun firman itu seakan harus  melekat dengan kekuasaan. Walhasil kebudayaan jatuh dari langit, turun dari awan melalui tangan seorang ‘nabi’ kebudayaan. Inikah yang dibangga-banggakan Riau?   Melayu?

Berikutnya adalah teater. Ya, pentas teatrikal para tokoh yang mempertunjukkan serial jasa dan karya masa lalu yang dah mati dalam benaman kebenaran tunggal, tafsir tunggal dan sejarah serba tunggal.

Teater itu sengaja dipersiapkan jauh-jauh hari: “orang dan negara luar aja memanfaatkan nira, masakan di tanah sendiri tak dapat tempat”?. He he… kalimat klise dan filmis ini ramai menghias ruang dan dada media di Riau.

Kita lupa, jauh sebelum ini betapa banyak anak-anak Melayu yang berkarya di negeri orang dan malah tak kembali dan diakui sebagai salah satu avant garde; sebut saja pelukis Salim yang bermukim di Paris dan wafat di Paris adalah bunga Melayu di benua biru.

Dia anak Bagan, dan lebih dari setengah abad hidup dan pengabdiannya bagi seni lukis dan membuat pilihan untuk bertarung di Paris. Itu sosok tua dan baru wafat,  mendapat liputan khas dari majalah Tempo tahun lalu.

Bagaimana dengan sosok muda belia yang hari ini sedang berjuang di perguruan tinggi ternama di Singapura. Juga tak sedikit anak-anak asal Riau. Dan mereka memiliki  nira pencapaian dalam daras masa kini dan malah “kini bangat”.

Sosok ini sepi dari liputan dan gempita kenduri atau upacara. Era tahun 80-an ada sosok Djali Ahimsa (juga anak Bagan) yang menjadi Direktur Badan Tenaga Atom Nasional.

Juga menjauhi segala pekik gempita kenduri-kendara. Ada anak Riau yang jadi peneliti di laboratorium kelautan di Jepang, juga menghindari gegap gempita sorak istana sentris.

Lalu, kanapa kita terbirahi dengan gairah upacara seorang tokoh yang mendaku-daku paling berjasa dan paling berbuat untuk Melayu?

Apakah kita tengah mengalami sindroma sejarah dengan penafsiran tunggal? Dan betapa dangkalnya peristiwa kebudayaan itu ketika dipersepsikan sebagai serangkaian upacara dan penanaman kesan pada satu sosok yang sebenarnya tak berarti sama sekali dari segi subsatansi kebudayaan.

Socrates, Plato, tetap bergayut pada dunia senyap, menjauhi segala hura-hura upacara. Tapi, dunia dia lukis hingga berderai, berjulur dalam pemikiran besar hingga hari ini. Kita harus mengelak dari anak Melayu yang tergila-gila dengan serangkaian majelis upacara dan perilaku mendaku-daku. Kita yang sejauh ini mengelak dari tindakan narsis, malah kita menjadi lebih narsistik dari tokoh politik.

Berhenti atau tetap meneruskan kebodohan? Hehehe…



Tidak ada komentar:

Posting Komentar