Senin, 21 Maret 2011

BERSIHAR LUBIS



RESHUFFLE ITU PERCUMA

RIAUPOS > Saturday, 12 Mar 2011 | Posted by IDRIS



Sekiranya reshuffle kabinet berlangsung juga, adakah jaminan Indonesia akan menapak masa depan gemilang? Saya ragu, bahkan sekalipun koalisi partai politik pendukung pemerintahan mem-pertahankan yang lama, bahkan jika ditambah dengan PDI Perjuangan dan Partai Gerindra.

Sama ragunya saya jika misalkan Golkar dan PKS dikeluarkan dari koalisi, sehingga tak ada lagi, yang katanya musuh dalam selimut, belumlah sebuah jaminan bangsa ini meraih segala cita-cita indah dan bahagia.

Akan tetapi manakala kaum elit di Indonesia telah matang berdemokrasi dengan menghormati pemisahan kekuasaan ala Trias Politika yang diperlebar, dipertinggi dan diperdalam, barangkali banyak orang akan berharap munculnya cercah-cercah harapan masa depan yang meyakinkan.

Disebut demokrasi yang diperluas dalam makna bukannya malah eksekutif dan legislatif saling kompak dan harmonis, apalagi ikut bergabung pula kekuatan judikatif, maka jadilah sumber kolusi, korupsi dan nepotisme semakin berkecambah.

Inilah kekeliruan memandang. Menganggap bahwa kekuatan Trias Politika itu harus harmonis. Namanya saja sudah pemisahan kekuasaan mestinya tidak boleh ada yang menjadi subordinasi dari yang lainnya.

Kita merasa jika tak sependapat, maka negara akan runtuh, padahal beda pendapat hanyalah kontrol agar pemerintahan dan negara berjalan di rel yang benar.
Bila Montesquieu hanya menyebut legislatif, eksekutif dan judikatif, sebetulnya kekuasaan itu juga bisa mencakup lembaga bank sentral. Yang paling ideal adalah agar tidak terjadi campur tangan dan kolusi serta pemufakatan jahat antara pelbagai pusat kekuasaan itu yang bisa menggumpal menjadi absolutisme kekuasaan yang monolit dan korup.

Karena itu dituntut profesionalisme dan independensi bidang ekonomi, seperti jabatan Chairman Federal Reserve (Bank Sentral) di Amerika Serikat.
Agar tidak mudah diperalat oleh elite yang menjadi the ruling party menduduki kepresidenan dan Kongres atau Senat, kesediaan untuk mematuhi aturan main, menghargai, menyegani dan menghormati peranan masing-masing sektor merupakan suatu kelembagaan yang menciptakan iklim saling percaya dalam masyarakat.

Di kita ini malah pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia diduga kuat berbau politik uang, dan kasusnya sedang di tangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Lembaga penegakan hukum mesti menjamin bahwa jika ada abused of power (penyalahgunaan kekuasaan), maka hamba hukum akan bertindak kendatipun yang ditindak adalah salah seorang pengurus DPP partai politik yang berkuasa, termasuk para menteri, gubernur, bupati dan wali kota yang dicalonkan oleh partai berkuasa, tetapi jika melakukan korupsi harus ditindak.

Ketegaaan penegakan hukum itu akan merupakan advertensi yang memikat bagi kaum penanam modal, baik domestik dan asing. Inilah yang membuat modal asing mengalir deras, memicu pertumbuhan dan menimbulkan berbagai pengaruh yang luar biasa bagi pemerataan kesejahteraan di tengah-tengah masyarakat.

Kita ingat di masa Alan Greenspan menjadi gubernur Bank Sentral, telah menyedot triliunan dolar dana masyarakat di luar AS, dipercayakan untuk membeli obligasi AS.

Luar biasa. Ketika dulu Alan Greenspan hanya memberi suku bunga 2 persen sejak 2001, dan bahkan turun hingga 1 persen pada 2003, toh 4 triliunan dolar AS harta milik dunia disimpan di AS.

Kata kuncinya, masyarakat harus percaya bahwa korupsi, KKN, atau menyalahgunakan kekuasaan harus tidak lagi bertapak di bumi Indonesia. Trauma berapa banyak pejabat negara dan daerah, termasuk kaum legislatif yang menjadi terdakwa dan akhirnya narapidana sejak awal era Reformasi adalah iklan buruk negeri ini.

Walau masih ada pejabat yang bersih, tapi hukum sosial memang jamak mengambil contoh buruk, walau segelintir, atas sebuah bangsa. Bahwa, kita memang bangsa yang gemar korupsi hingga ke jajaran kekuasaan terkecil sekalipun.

Yang diperlukan adalah revolusi mental dan budaya untuk menerapkan demokrasi sejati dengan pembatasan kekuasaan yang setara dan efektif untuk mencegah dan menindak KKN. Kita sudah lama sekarat justru karena ketika mulai alergi terhadap demokrasi. Seburuk-buruknya ekses demokrasi, jauh lebih buruk lagi jika demokrasi tidak ada, atau dipasung serta direduksi.

Sekalipun Presiden Yudhoyono mengundang Alan Greenspan sebagai penasihat ekonomi RI, Greenspan tidak akan bisa apa-apa, jika mental kolektif elite RI masih feodal, dinastik, despotik, dan tidak punya sportivitas untuk menghargai pendapat orang lain yang berbeda.

Jika rasa percaya anggota masyarakat terhadap trauma pemerintahan yang korup masih menghunjam, maka puluhan Alan Greenspan juga tidak akan berdaya membangkitkan ekonomi RI.

Alan Greenspan sukses di AS bukan hanya karena dia seorang “begawan ekonomi”, tapi karena di AS berlaku kelembagaan pasar yang dijamin hukum yang impartial dan mendukung pertumbuhan produktifitas dan kreativitas sebagai dinamo penggerak ekonomi.

Yang lebih diperlukan ialah perubahan kelembagaan dan mental kolektif ke arah integritas elite yang bermoral, berdedikasi dan bertanggung jawab secara transparan dan institusional. Baik di pusat dan daerah. Baik di eksekutif, legislatif dan judikatif. Reshuffle kabinet itu sia-sia jika sekadar ganti orang.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar