Senin, 21 Maret 2011

CHAIDIR



HANTU WIKI

RIAUPOS > Monday, 14 Mar 2011 | Posted by IDRIS



David Jenkins wartawan The Sidney Morning Herald, salah satu koran Australia terkemuka, pada 10 April 1986 menulis artikel di harian tersebut. Tulisan itu dinilai menghina Presiden Soeharto.

Maka sehari kemudian Kedutaan Besar Australia di Jakarta didemo oleh KNPI. Australia menuai kecaman karena dinilai telah menghina Kepala Negara Republik Indonesia. Pemerintah Indonesia marah dan memboikot para wartawan Australia yang bertugas di Indonesia.

Tapi Bill Hayden, Menteri Luar Negeri Australia ketika itu, mengatakan pers di Australia memang mempunyai kebebasan mutlak dan tidak bisa dicampuri sama sekali oleh pemerintah.

Apa yang ditulis pers bukan berarti sama dengan sikap pemerintah. Kejadian itu masih tersimpan dalam catataan saya, karena nyaris membatalkan keberangkatan saya untuk studi di James Cook University, Townsville, Australia, pada krisis hubungan tersebut.

Beberapa hari kemudian dalam sebuah kunjungan ke peternakan sapi di luar Townsville, peternaknya mengatakan, mereka tak ada urusan sama sekali dengan tulisan di Sidney Morning Herald itu.

Pada suatu hari kemudian, Perdana Menteri Australia Paul Keating berkunjung ke Jakarta untuk bertemu Presiden Soeharto. Konon, dengan takzim Perdana Menteri Australia itu bertanya kepada Presiden Soeharto sekaligus mohon petunjuk.

Australia ingin belajar dari Indonesia bagaimana caranya agar bisa menjadi negara republik. Dengan santun Presiden Soeharto menjawab, Indonesia juga ingin belajar dari Australia bagaimana caranya menjadi negara kerajaan.

Perbincangan itu mungkin hanya sekadar humor politik. Namun pada 12 Agustus 1999, Australia sungguh-sungguh melakukan referendum. Rakyat Australia dihadapkan pada dua pilihan, apakah setuju untuk membentuk sebuah Republik Australia, atau tidak.

Hasilnya, 45,13 persen untuk jawaban iya, dan 54,87 persen untuk jawaban tidak. Dengan demikian, mayoritas rakyat Australia memilih Australia tetap berbentuk kerajaan. Monarchi parlementer dengan pers bebas.

Dalam perspektif kebebasan pers itu, beberapa hari lalu, koran The Sidney Morning Herald, Australia kembali berulah. Kali ini Presiden SBY yang kena sengatnya. Mengutip dokumen Wikileaks, The Sidney Morning Herald dan koran The Age, menyebut Presiden SBY menyalahgunakan kekuasaan.

Berita tersebut mencuri perhatian. Sebab, situs Wikileaks, organisasi internasional yang bermarkas di Swedia ini, memang gemar menerbitkan dokumen-dokumen rahasia entah dari mana dan ba-gaimana cara mereka mendapatkannya.

The Sidney Morning Herald memang telah memuat hak jawab atas berita yang merugikan Presiden SBY dan bangsa Indonesia tersebut, juga permintaan maaf secara terbuka.

Demikian pula permintaan maaf Dubes AS di Indonesia yang disebut-sebut oleh Wikileaks sebagai salah seorang narasumber. Tapi nasi sudah jadi bubur, hak jawab dan permintaan maaf itu tak seimbang dengan luka yang ditimbulkan.

Ketidaktepatan dan ketidakadilan informasi yang dikenal dengan asimetri informasi di abad informasi canggih ini sering membawa korban, banyak orang dihukum walau tak bersalah dan banyak orang bersalah tak dihukum. Asimetri informasi yang dikemas oleh negara maju, agaknya telah menjadi momok alias hantu.

Adakah karena itu maka situs yang  membuat heboh itu bernama Wikileaks? Leak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya hantu, maka Wikileaks berarti hantu-hantu wiki. Iya tak iya…



Tidak ada komentar:

Posting Komentar