Selasa, 08 Maret 2011

BERSIHAR LUBIS


RESHUFFLE SAJA, PAK SBY!
RIAUPOS > FEBRUARY 26, 2011

Musuh dalam selimut. Menohok teman seiring. Agaknya pepatah lama itu    cocok untuk menggambarkan perasaan hati kaum Demokrat melihat pergerakan politik kolega mereka dalam Sekretariat Gabungan Koalisi Pendukung Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Yang dimaksud, siapa lagi, jika bukan Partai Golkar dan PKS yang gencar mengusung hal angket mafia pajak, walaupun berakhir dengan anti klimaks.

Tak heran jika Ketua Fraksi Demokrat, Jafar Hafsah, di sela-sela Roundtable Discussion Partai Demokrat di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Kamis (24/2) lalu, berkata bahwa pemerintah masih akan  bisa berjalan kok. Tidak masalah walau tanpa PKS dan Golkar.

Partai Demokrat rupanya merasa ditohok oleh teman seiring, yakni Golkar dan PKS dalam kasus hak angket yang meskipun berakhir gagal itu. Padahal PKS punya 4 kursi menteri dan Golkar 3 kursi di kabinet SBY. Akankah SBY melakukan reshuffle dengan mendepak kedudukan ketujuh menteri tersebut?

May be yes, may be no. Tetapi memang sudah salah di pangkal. Jabatan menteri, jika mengacu kepada pasal 17 ayat 3 UUD 1945, adalah mereka yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

Artinya, para menteri adalah pemimpin (baca: presiden) eksekutif sehari-hari, sesuai otoritas masing-masing. Presiden bukanlah one man show dalam kabinet presidensial.

Masuk akal jika kriteria seorang menteri adalah skill dan kompotensi. Apalagi presiden pun mempunyai hak prerogatif. Inilah merit system yang membuat kinerja menteri bersifat meritrokratis. Bukan karena jasa dan imbalan politik. 
Namun apa mau dikata, presiden selalu tergoda untuk mengangkat menteri berdasarkan logika kabinet parlementer. Presiden gemar menampung orang-orang partai, yang khususnya partai pendukung dalam pemilihan presiden, dalam mengisi pos menteri.

Tak pelak, politisi menjadi primadona. Sudahlah duduk di pemerintahan, wakil-wakilnya juga duduk di DPR. Atas nama demokrasi, walaupun orang partai ikut duduk dalam pemerintahan, tidak mewajibkan mereka yang di parlemen harus 100 persen  menjadi bemper bagi berbagai kebijakan pemerintah. Menjadi tukang stempel ala Orde baru, tidak lagi zamannya.

Sebaliknya, karena sikap yang boleh berbeda pendapat tersebut walaupun sekoalisi, telah membuat program pemerintah bagaikan tari poco-poco.
Maju tidak, tapi malah mundur sesekali atau berulangkali. Inikah, yang membuat pemerintahan tersandera oleh partai politik, padahal masih banyak tugas belum selesai, belum apa-apa?

Kita pun teringat kisah Sisiphus yang mendorong batu ke puncak bukit. Namun tiba di puncak, Dewa Zeus menendang batu sehingga menggelinding ke bawah. Begitulah kesia-siaan itu berulang-ulang. Adakah Zeus bak parlemen dan Sisiphus bagai eksekutif?

Kisah Gus Dur yang terpilih sebagai presiden atas dukungan Poros Tengah yang menghimpun koalisi sejumlah partai mendukung Gus Dur, sehingga Mega dari PDIP kalah, sangat referensial. Masalah muncul, ketika Gus Dur mencoba mewujudkan kabinet presidensial, padahal kursi PKB minoritas. Gus Dur nekat melepas menteri seperti Hamzah Haz, Wiranto, Laksamana Sukardi, Kwik Kian Gie dan Yusril Ihza Mahendra, yang justru orang partai, minus Wiranto. Tak ayal, resistensi orang di Senayan muncul, sehingga Gus Dur makin sendirian, dan jatuh pada SI MPR 2001 silam.

Berbeda dengan Soeharto yang full power, sehingga persetujuan parlemen bak tukang stempel. Kelebihan Soeharto dia mempercayai tim ekonomi dipimpin Wijoyo. Hasilnya, inflasi 600 persen, dan harga barang yang melejit pada 1966-1968, teratasi dan investasi mengalir ke Indonesia sehingga dijuluki macan ekonomi Asia. SBY sebetulnya sangat mempercayai tim ekonominya di kabinet. Namun, itu tadi: jumlah kursi partainya di parlemen tidak signifikan. Toh, kritik mengalir juga kepada SBY. Tak apalah. Kritik memang perlu. Tak perlulah menilai DPR sebagai lalat pengganggu, karena check and balances lumrah saja dalam demokrasi.

Secara konstitusional, tidaklah perlu hubungan eksekutif dan legislatif mesra karena bisa menyuburkan KKN. Biarkanlah DPR menganggap kebijakan eksekutif salah, sebelum fakta menunjukkannya benar. Sikap itu lebih baik daripada DPR menganggap semua kebijakan oke, padahal fakta menunjukkan sebaliknya, tapi publik pun sering tertipu. DPR yang menyalak bagai watchdog hanya sejenak. Seru berbalas pantun, tapi akhirnya akur, dan senyap. Akhirnya rakyat, dan deritanya, yang telah memilih presiden dan parlemen sering terlupakan. Jika hendak marah, rakyat hanya bisa menghukum sekali lima tahun saban Pemilu. Itupun jika tidak terkena amnesia.

Lalu, apalagi? Reshuffle saja. Toh tetap dalam satu koalisi pun, kritik tak bisa dihentikan. Yang penting, eksekutif harus memilih kebijakan yang mementingkan kesejahteraan rakyat. Sudah gila DPR jika tak menyetujuinya. Mengapa takut, jika rakyat di belakang kita?***

Bersihar Lubis, Wartawan senior tinggal di Medan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar