Senin, 21 Maret 2011

CHAIDIR



UNTUNG ADA RATIH

RIAUPOS > Monday, 21 Mar 2011 | Posted by IDRIS



BENCANA yang menimbulkan korban jiwa, selalu membawa kepedihan mendalam. Apalagi musibah besar seperti tsunami di Jepang. Sepuluh hari pasca musibah, korban meninggal dunia dan hilang diberitakan mencapai 18.000 jiwa.

Jangankan ribuan jiwa, satu jiwa saja melayang menimbulkan duka lara bagi orang-orang tercinta.

Dalam perspektif transcendental, musibah selalu menjadi sebuah  iktibar. Semuanya takdir. Bahwa hidup ini hanya sementara. Bahwa Zat Yang Maha Kuasa yang punya skenario, bagi yang ditakdirkan menjadi korban tsunami itu, hari Sabtu 12 Maret 2011 tak pernah ada. Kisah mereka sampai di situ.

Tapi dalam perspektif akal manusia, yang menggunakan ilmu pengetahuan sebagai instrumen, bencana selalu dievaluasi untuk meminimalisir akibatnya bila monster sejenis datang lagi di kemudian hari.

Kita percaya, betapa maju pun masyarakat Jepang, mereka  memiliki sistem kepercayaan yang kuat, bahkan disebut, tidak ada negara modern lain di dunia ini yang memiliki sistem kepercayaan primitif sekuat Jepang.

Shinto merupakan kepercayaan asli Jepang. Shinto didasarkan pada pemikiran yang percaya dengan banyak dewa (polytheisme) dan kekuatan alam (matahari, bulan, gunung, laut, ombak, angin, petir, dll). Hal ini berpengaruh pada sikap hormat yang sangat tinggi masyarakat Jepang kepada alam (hansblox.blogspot.com).

Namun Jepang modern telah menyiasati bagaimana meminimalkan korban akibat gempa bumi. Jepang tidak ingin musibah seperti apa yang mereka sebut sebagai Gempa Besar Kanto (Great Kanto Earthquake) pada 1923 yang menewaskan 142.000 orang, terulang (vivanews.com).

Artinya, Jepang menyadari, sudah menjadi takdir alam mereka menempati kepulauan yang rawan gempa, mereka tak mungkin pindah ke lain benua, tapi mengurangi korban adalah wilayah akal manusia.

Itulah yang kita pahami. Jepang merencanakan gedung-gedung bertingkat yang bersahabat dengan gempa. Lihat, betapa anggota parlemen Jepang tidak panik. Mereka yakin gedungnya tak akan runtuh walau digertak gempa 8,9 Skala Richter.
Early warning system (sistem peringatan dini) untuk menghadapi tsunami pun dirancang sehingga masyarakat bisa menyelamatkan diri sedini mungkin. Rakyat pun dilatih untuk bertindak cepat.

Seperti kita dengar dari penyiar televisi, setiap warga selalu siaga dengan sebuah kantong yang berisi keperluan sangat vital dalam keadaan darurat, yang langsung bisa dibawa menyelamatkan diri.

Oleh karena itu kalau kita tonton bencana hebat yang terjadi itu, korban bisa berlipat ganda, tapi Jepang telah belajar banyak dari Gempa Besar Kanto. Rakyatnya telah terlatih.

Kita sudah punya UU Nomor 56/1999 tentang Rakyat Terlatih. Rakyat Terlatih (Ratih) adalah komponen dasar kekuatan pertahanan keamanan negara yang mampu melaksanakan fungsi ketertiban umum, perlindungan rakyat, keamanan rakyat, dan perlawanan rakyat dalam rangka penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.

Ratih bertujuan untuk meningkatkan daya dan kekuatan tangkal bangsa dan negara, membantu TNI dan Polri menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, dan menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat.

Sebenarnya wajar bila TNI dan Polri membesarkan Ratih. Kendalanya barangkali ada dua. Pertama, pendanaan; kedua, persepsi masyarakat. Padahal Ratih sebuah keniscayaan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar