Senin, 21 Maret 2011

HASAN JUNUS



SISIFOS

RIAUPOS > Sunday, 13 Mar 2011 | Posted by ADMIN



Perjuangan menuju puncak gunung itu sendiri telah cukup untuk mengisi hati seorang manusia. Harus terbayang pada kita bahwa Sisifos itu bahagia.

Albert Camus, Le Mythe de Sisyphe


PARA hamba Yahudi dikerahkan untuk membangun piramida di Mesir pada zaman Firaun. Di gerbang kamp-kamp konsentrasi Auschwitz dan Dachau tertulis dengan kata-kata dalam bahasa Jerman yang berarti “Kerja itu Membebaskan”; dan sebelum dimasukkan ke kamar gas mereka dipaksa bekerja yang hasilnya menguntungkan penguasa Nazi Jerman. Dalam penjara Malaysia para pendatang haram dari Bangladesh, Thailand dan Indonesia mendapat macam-macam pekerjaan yang kelak ketika mereka dibebaskan diberikan upah sebagai hasil kerja dalam bentuk ringgit.

Demikianlah tenaga manusia diperhitungkan sebagai modal yang dapat menjadi upah. Pada gilirannya kelak tenaga dan upah dapat pula membiak sebagai laba kalau saja tersedia udara kebebasan untuk berkompetisi di dalamnya.

Namun ada contoh lain dari sebuah peristiwa pada masa Perang Dunia Kedua. Para tahanan Sekutu (baca: Inggris) yang dibawa secara paksa oleh tentara pendudukan Jepang ke suatu kawasan di sempadan Burma (sekarang: Myanmar) dengan Thailand harus membangun sebuah jembatan yang melintasi Sungai Kwai. Tentulah jembatan ini akan dipakai oleh penguasa Jepang untuk kepentingan perangnya. Pimpinan POW (prisoner of war) atau tawanan perang itu memberi semangat kepada anak-buahnya agar bekerja dengan baik. Tentulah banyak anak-buah yang menyangka sang pemimpin barangkali seorang kolaborator musuh. Namun jambatan itu akhirnya siap juga dengan bagus. Akan tetapi segera setelah diresmikan dengan pesta sang pempimpin memerintahkan jambatan itu diledakkan. Apa ini? Sebelum transportasi tentara Jepang sempat melewati jambatan ini untuk pertama kali, karya gemilang ini pun dihancurkan dengan gemilang. Absurd!

Teman saya, seorang pengarang, pernah mempunyai gagasan untuk menulis sebuah roman yang mengisahkan tentang suasana absurd. Meskipun menguasai bahasa Perancis dan Jerman dengan baik namun ia mengatakan kepada saya bahwa ide ceritanya itu lebih berdasarkan pengalaman hidupnya sendiri daripada hasil bacaan atas karya-karya orang orang semacam Albert Camus dan Friedrich Nietzsche. Sebab, kata teman saya itu, semua bahan bacaan cuma penting sebagai perangsang sedangkan nyawa karya itu sendiri harus diangkat dari pengalaman yang kita dapat dan jumpai di sepanjang jalan kehidupan.

Seorang raja sangat kejam (karena penasihatnya seorang pembisik jahat) mengumpulkan seribu orang pemberontak di sebuah pulau kecil. “Jangan bunuh mereka,” kata tuan penasihat kepada sang raja, “Siksa mereka dengan setinggi siksa!” “Apa itu?” Tanya sang raja. “Begini,” jawab tuan penasihat sambil berbisik.
Para pemberontak masing-masing diperintahkan menggali satu perigi dan membawa air perigi melalui tujuh bukit dan membuangkannya ke pantai. Pada hari ketiga separuh pemberontak minta dibunuh saja. Pada tahun ketiga jumlah mereka tinggal puluhan dan pada tahun ketigapuluh tinggal tujuh orang saja. Mereka bekerja membawa air dari perigi ke pantai dengan kegembiraan absurd.


Pemimpin pemberontak itu seorang pemuda mengajar para pemberontak yang masih bertahan hidup dengan inti filsafat yang dibacanya dari buku dan telah diuji dari kehidupan. Setiap pagi ketika matahari baru terbit mereka memulai kerja sambil berteriak gembira dalam bahasa asing, “Amor fati!” Setiap petang ketika matahari hendak terbenam dan waktu istirahat tiba mereka pun berteriak dalam bahasa asing yang lain, “Liebe zum Schicksa!” Kedua ungkapan bahasa asing itu artinya lebih kurang “Mencintai nasib!” Kedua bahasa asing itu tak dipahami samasekali oleh si raja dan penasihatnya. Salah-seorang pemberontak yang berbakat sebagai musikus menciptakan sebuah lagu, hanya satu lagu, yang mereka nyanyikan ketika bekerja.

Raja kejam dan pembisik jahat hidup tersiksa karena tiada kekejaman lebih tinggi yang dapat diciptakan lagi. Keduanya mati dimakan kesedihan. Penggantinya, seorang raja baik, memberi ampun kepada para pemberontak yang tinggal tujuh orang. Enam di antaranya menerima ampunan dan kembali ke kampung halaman. Seorang meninggal dalam perjalanan pulang. Seorang yang lain mencuri perahu milik penduduk dan berlayar entah ke mana. Dua orang diangkat menjadi kepala kampung dan mengatur kampung itu dengan baik. Dua orang lagi menggali perigi di bukit dan membawa air ke pantai dan mencurahkannya di sana satu kali sehari.

Cuma sang pemimpin, yang sudah berusia 59 tahun, yang menolak. Seorang diri ia hendak habiskan sisa umurnya dengan keriangan yang sungguh-sungguh absurd. Tempat itu sekarang diberi nama Pulau Seribu Perigi dan Pantai Air Tawar. Hanya nama. Tapi yang lebih penting bila roman teman saya itu rampung! 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar