Senin, 21 Maret 2011

HASAN JUNUS



SAPHO

RIAUPOS > Sunday, 20 Mar 2011 | Posted by ADMIN


Nama beberapa lelaki seperti Brutus, Judas dan Sbylock pada gilirannya berubah menjadi kata sifat yang mewakili sifat buruk mereka. Juga nama seorang perempuan: Sapho. Dalam bentuk kata sifat sudahlah namanya mewakili sifat buruk, maung dengan bau seks, dari jenis yang menyimpang pula.

TEMPAT kelahirannya di sebuah pulau, selalu (dihubung-hubungkan) orang dengan para perempuan di zaman dulu yang melaksanakan cinta sejenis. Dan sajak-sajak Sapho juga mengisahkan bahwa dia pun memang ikut dalam arus besar perbuatan yang bertentangan dengan aturan alam itu.

Pulau Lesbos atau disebut juga pulau Mitilena itu luasnya 1.831 kilometer persegi, dan sekarang berpenduduk 97 ribu jiwa. Pulau ini menjadi sangat terkenal karena di sinilah Sapho dilahirkan dan menjalani hidupnya yang singkat. Siapa Sapho?
Namanya ditulis dengan berbagai cara: Sapho atau Sappho atau Saffo atau Safo atau Psappho. Penyair perempuan bangsa Yunani ini dilahirkan di pulau Lesbos (tempat asal kata lesbianisme) pada tahun 610 Sebelum Masehi dan meninggal dunia pada tahun 580 Sebelum Masehi. Jadi cuma tiga puluh tahun usianya. Sembilan bukunya yang berhasil dikumpulkan orang semuanya hanya berupa fragmen-fragmen, tidak utuh. Terlalu banyak perhatian orang-orang di luar sempadan kesusastraan pada suatu bagian kehidupannya, yaitu pengamalan lesbianisme. Begitu berkesankah soal seksual menyimpang ini sehingga seperti tak penting berapa sebenarnya sajak-sajak yang diciptakan oleh perempuan ini. 
Namun bagi pencinta sejarah sastra berapa dan apa-apa saja karya Sapho itu penting sekali.

Ketika membaca riwayat dua orang penyair Jepang pada zaman Heien (794-1185 Masehi) yaitu tentang diri Ono no Komachi dan Izumi Shikibu dalam The Ink Dark Moon, nama Sapho pun disebut oleh Jane Hirshfield dan Mariko Aratani (penerjemah dan penyunting buku) sebagai sandingan dan bandingan yang amat jitu. Para perempuan dalam istana Jepang zaman dulu rupanya ada juga bermain sumbang menentang alam. Dalam bahasa Jepang pengamalan lesbianisme itu disebut onna no doo-sei-ai yang terjemahan dalam kamus pegangan saya sehari-hari yaitu: homosexuakite feminine.

Dalam istana Kamboja pun, sebagaimana digambarkan oleh penulis Roland Meyer dalam romannya Saramani –Danseuse  cambodgienne (1922) para penari yang baru datang harus menjadi ‘’adik’’ dalam pergaulan di paseban tari, sementara para penari yang lebih dulu datang menjadi  ‘’abang’’.

Sebenarnya di kalangan perempuan Melayu pun pengamalan berseronok-seronok seksual sesama perempuan ini ada dikenal. Kalau tidak mana mungkin pakar budaya seperti Richard James Wilkinson mencatatnya dalam A Malay-English Dictionary (1932) yang menjadi induk dari sekian banyak kamus. Dalam kamus ensiklopedis itu ia menerangkan arti figuratif ‘’tampok labu’’ sebagai ungkapan untuk menyatakan tentang ‘’clitoris’’, dan ‘’main tampok labu’’ yang juga disebut ‘’main abau’’ bahasa Latinnya ialah amor lesbicus. (Abau ialah sejenis penyu yang hidup di rawa atau paya; tak ada keterangan apakah abau itu memang suka melakukan hubungan seksual sejenis). Para pujangga Melayu masa lampau barangkali terlalu hendak bersopan-sopan sehingga tidak memberitakan adanya pengamalan lesbianisme dalam masyarakat. Bahkan Raja Ali Haji yang banyak menghasilkan syair-syair naratif penuh seronok dan mendebarkan seksual itu pun tidak memberikan keterangan sedikitpun tentang ‘’main abau’’ atau ‘’main tampok labu’’. Ada apa?

Main tampok labu @ main abau @ lesbianisme @ saphique (adjektiv bahasa Perancis) @ Sapphic (adjektiv bahasa Inggris) dapat pula ditelusuri lebih jauh jejaknya pada masyarakat Amazon yang ada dikisahkan dalam mitologi Yunani lama.

Seandainya Sapho tidak ikut dalam arus besar kebiasaan (Buruk? Aneh? Jorok?) para perempuan di Pulau Lesbos pada masa kehidupannya yang mengamalkan cinta dan atau hubungan seksual sejenis, dia akan terus dan tetap dikenang sebagai penyair. Karena itu tidaklah terlalu penting apakah Sapho itu seorang pengamal lesbianisme atau tidak karena yang lebih penting yaitu apakah Sapho itu berkarya atau tidak.

Anda tahu berapa buah sajaknya yang utuh diwariskan kepada dunia kesusastraan? Satu! Cuma satu! Satu sajak yang terdiri dari 28 baris. Selain itu semuanya cuma fragmen-fragmen sajak yang untunglah sering disitir oleh para penyair yang hidup sesudah masa hayat Sapho, sampai berabad-abad lamanya.

Sapho sebagai penyairlah yang dipuji-puji oleh penyair antipater dalam sebuah sajak yang menempatkan dia sejajar dengan sembilan dewi-dewi kesenian dalam mitologi Yunani; salah-seorang dewa mengalungkan bunga yang tak tahu layu pada rambutnya yang berjalin, dan seorang puteri dari dongeng memintalkan benang untuk dijadikan pita pengikat rambutnya. Sajak-sajaknya yang khas terdiri dari sebelas silabel menyebabkan namanya melintasi abad-abad sampai ke hari ini. Untunglah Antipater, lelaki dari Sidonia itu, tak ambil peduli siapakah kekasih Sapho, lelaki atau perempuan.

Alangkah kuatnya karya sastra, apalagi puisi, lebih tahan masa daripada bangunan manapun yang pernah ada. Bangunan mana dari abad ke-5 Sebelum Masehi yang masih sesegar sajak-sajak Sappho? Coba sebutkan satu saja kalau ada!




Tidak ada komentar:

Posting Komentar