Selasa, 08 Maret 2011

HASAN JUNUS


MANUSIA HOTEL
RIAUPOS > MARCH 6, 2O11

O Henry, salah seorang di antara penulis cerita-pendek paling prolifik di dunia, antara lain mewariskan kepada kita cerita “Furnished Room” yang berakhir dengan suasana pilu yang meresuk sampai ke relung terceruk hati pembaca.

CERITA itu pertama kali diterbitkan pada tahun 1904 di sebuah surat kabar. Berlatarkan Kota New York, seorang lelaki setengah mati mencari gadis pasangannya yang hilang. Tak tahan menanggung beban perasaan ia lalu membunuh diri di sebuah kamar sewaan. Tak tahu si lelaki itu bahwa gadis yang dicarinya juga tinggal di kamar yang sama dan membunuh diri seminggu sebelumnya.

Untuk memberi warna nyawa kepada suatu benda mati, dalam hal ini sebuah kamar hotel di Tanjungpinang pada Minggu malam, di depan teman-teman yang memenuhi kamar tempat saya menginap, cerita pendek O Henry itu saya bentangkan dengan gaya saya sendiri. Selain itu saya juga sempat berkisah tentang munculnya dua sajak anonim yaitu “Burung Api” dan “Touch-Me-Not” yang mengandung arti bahwa penciptaan tidak ingin namanya diketahui namun dia ingin terus berekspresi menumpahkan kandungan hatinya dalam karya seni.

Seorang teman dengan ungkapan puitis bertanya kepada saya, katanya, “Di mana antara dua kota, Anda merasakan denyut nyawa hari paling keras bergetar?”
Saya katakan dengan sebersih jawaban bahwa dulu saya merasakan di Tanjungpinang. Tapi sekarang bagi saya Pekanbaru lebih kuat berdenyut.


“Mengapa?” serbu beberapa suara agak garang.

Mana mungkin saya menjawab pertanyaan yang terakhir ini secara penuh seluruh. Bagaimanapun blak-blakannya seseorang biasanya ia tetap menyimpan sesuatu yang tak terkatakan di ceruk terdalam hatinya. Saya termasuk orang yang menyimpan sesuatu yang tak terkatakan itu. Boleh kan?

Malam berikutnya saya berceramah mengenang seorang pengarang teman saya yang sudah lebih dulu pergi. Saya kisahkan bahwa sepeninggal BM Syamsuddin tinggal seorang lagi teman bertengkar saya, siapa lagi kalau bukan Idrus Tintin, dan akhirnya juga meninggal dunia. Saya ceritakan pula bagaimana saya selalu menyakiti almarhum BM Syam, karena dulu ia tak pernah menulis cerita pendek. Ia dikenal sebagai penulis roman (sejarah) yang paparannya terlalu berjela-jela dan merampai-rampai. Ia memang tak terlatih menulis secara singkat.

BM Syamsuddin merasa sangat sakit ketika sebuah kumpulan cerita pendek yaitu Keremunting muncul di Pekanbaru. Tentu saja tanpa menyertakan karyanya. Karena memang ketika itu BM Syam tidak mempunyai cerita pendek.

Sejak itulah ia membangun sikap perlawanan yang hebat. BM Syam menulis cerita pendek. Dan berhasil menjadi penulis cerita pendek justru pada bagian penghujung usianya.

Namun, yang tak saya katakan di depan audien di gedung Niram Dewa itu ialah bagaimana inginnya kami menjadi manusia hotel seperti yang dijalani oleh pengarang Iwan Simatupang. Sebagai manusia hotel, pengarang nouveau roman itu telah menghasilkan karya-karya yang sempat menghingar-bingarkan gelanggang kesusastraan seperti Merahnya Merah, Ziarah dan Kering. Di kota Bogor ia memakai Hotel Salak, di Bandung dan Jakarta berbagai hotel, satu demi satu karya besarnya ia selesaikan sampai ke akhir usia yang rasanya terlalu cepat tiba.

Tapi, rupanya di antara audien itu ada seorang teman lama yang sudah sangat berbuah usaha niaganya. Ia duduk diam-diam di sudut, mendengarkan seorang teman lama bercerita banyak hal, termasuk berbagai kerenah perangai aneh di masa lalu, ketika badan masih muda dan semangat Allahurabbi dahsyatnya.

Malam terakhir sebelum berangkat pulang ke Pekanbaru, tepatnya sedikit lewat tengah malam, telepon tiba-tiba berdering. Suara itu saya kenal. Si teman lama berkata bahwa kalau saya mau mengarang di suatu tempat yang diperkirakan dapat merangsang hati dan pikiran harap menghubunginya.

Maka saya pun teringat kepada BM Syamsuddin. Apa yang kami cita-citakan bersama kini sudah berbuah. Sedihnya BM Syam tak dapat mencicipinya. Saya pun belum tentu. Waktu, yang dalam kebijaksanaan Hinduisme disebut Sang Kala memang sering mengacah dan mempermainkan manusia.

Sikap terbaik menghadapi keadaan seperti ini saya rasa ialah menjalani hidup tanpa terlalu banyak berharap. Kalau janji itu mengandung kata Ya baik saja disambut dengan gembira. Tapi kalau segala janji mengandung kata Tidak, jangan berkecil hati. Semua akan berlangsung lancar dengan Ya dan Tidak atau tanpa Ya dan Tidak. Bagi orang seperti saya yang sudah kenyang dengan kekecewaan semua itu sama 
saja.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar