Senin, 04 April 2011

JEDA - DIALOG AHMADIYA TAK PERNAH BERUJUNG

(Kanan-Kiri)
M.M Billah, Andy Yentriyani,
Yosep Adi Prasetyo, Batara
dalam Diskusi Publik
"Kekerasan Terhadap Ahmadiyah :
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan"
di Kantor LBHI, Jakarta, Selasa (22/3/2011)



Dialog Ahmadiyah Tak Pernah Berujung
Editor: Jodhi Yudono
Minggu, 3 April 2011 | 03:17 WIB



Oleh Edy Supriatna Sjafei

Dialog diyakini oleh bangsa Indonesia masih sebagai cara terbaik dalam menyelesaikan persoalan, bukan semata sesuai dengan nilai dan falsafah Pancasila tetapi juga sejalan dengan ajaran agama.

Sudah lama bangsa Indonesia mengedepankan dialog dalam menyelesaikan persoalan Ahmadiyah, yang dirasakan sebagai "duri dalam daging" bagi umat Islam. Namun, berbagai upaya belum juga membuahkan hasil.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Ahmadiyah yang menyebut sebagai paham Islam yang menyesatkan, melakukan penodaan dan penistaan agama, juga tak membawa pengaruh terhadap kehadiran Ahmadiyah.

Ormas Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) dan beberapa Ormas Islam lainnya sudah lama menyebut Ahmadiyah sebagai menyesatkan, juga tak menyelesaikan persoalan Ahmadiyah.

Justru yang mencuat kepermukaan adalah tindakan kekerasan dan anarkis bermunculan, disusul dengan keluarnya keputusan dari beberapa Pemerintah Daerah (Pemda) seperti di Jatim, Jabar dan Banten tentang larangan akivitas Ahmadiyah di daerahnya masing-masing.

Dengan demikian dialog tokoh agama dengan kalangan Ahmadiyah di beberapa daerah juga hasilnya nihil.

Kabar yang muncul justru tak menggembirakan, Ahmadiyah kehadirannya di tanah air seperti kerikil dalam sepatu.

Ahmadiyah yang mengaku sebagai Islam justru menyakiti umat Islam sendiri, lantaran masih mengakui nabi akhir zaman selain Muhammad SAW.

Selain itu, sejumlah ayat Al Quran pun "diplintir", diputarbalikan dan memegang kitab lain sebagai pegangan.

Ormas Islam pada sekitar lima tahun silam pernah meminta pihak berwajib menangkap pimpinan Alqiyadah Al Islamiyah, Ahmad Musadek, karena telah menyebarkan ajaran sesat dengan mengaku sebagai nabi dan rasul baru. Pihak berwajib cepat menyelesaikan kasus itu.

Saat itu, menurut pengacara Mahendradata, sebetulnya dengan pengakuan sebagai nabi dan rasul baru secara terbuka, patut Ahmad Musadek sudah melanggar pasal 156 KUHP tentang penodaan dan penyalahgunaan ajaran agama, dalam hal ini agama Islam.

Menurutnya, Ahmad Musadek bisa saja menyebarkan ajaran baru asalkan tidak mengaku dan membawa-bawa atribut Islam. "Seandainya Ahmad Musadek tidak mengaku Islam, tidak masalah,", katanya.

Kini, jika dibanding dengan kasus Ahmadiyah yang terang dan jelas melakukan penistaan, penodaan agama Islam sejak lama, pemerintah seolah sudah kehilangan "gigi".

Aturan hukum sudah jelas. Ditinjau dari aspek ajaran agama Islam pun, lebih tegas lagi karena nyata dan bukti ada.

Dialog lagi Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat berencana menggelar dialog bersama jemaah Ahmadiyah di kantor Kemenko Kesra, Jakarta.

Kemungkinan dialog akan digelar pekan depan. Saat ini pemerintah masih menggodok materi yang akan dibahas.

Esensinya, dari dialog yang akan diselenggarakan itu, tetap mencari masukan sebagai solusi dari persoalan Ahmadiyah yang sudah lama namun tak kunjung selesai.

Pokok bahasan tidak berbeda dengan pertemuan sebelumnya, tapi saling melengkapi, saling mengisi.

Pertemuannya mungkin minggu depan, kata Menko Kesra Agung Laksono kepada para wartawan di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (31/3/2011).

Jika dialog itu jadi dilaksanakan, maka ini merupakan dialog serupa yang diselenggarakan Kementerian Agama, di Gedung MH Thamrin Jakarta, selama empat hari.

Pertemuan tersebut akan dihadiri sejumlah tokoh agama dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto.

Dalam pertemuan ini pemerintah akan menggali masukan-masukan dari pihak jemaah Ahmadiyah dan tokoh agama.

Pentingnya dialog antara jemaah Ahmadiyah dan komunitas non-Ahmadiyah, menurut Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Bahtiar Effendy adalah semua pihak sepakat kekerasan dalam bentuk apa pun tidak bisa ditoleransi.

Oleh karena itu, harus dicegah dan pelakunya ditindak dengan undang-undang yang berlaku.

Tetapi tiadanya kekerasan juga bukan sasaran akhir. Sebab, cepat atau lambat akan ada pihak yang marah dan ada Ahmadiyah yang harus dijamin hak-haknya.

Lantas ia menyebut bahwa salah satu kelemahan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri dibuat tanpa melibatkan seluruh pihak yang terlibat.

Akibatnya, SKB itu tidak banyak dijalankan oleh pihak yang terlibat.

Dialog tentang Ahmadiyah yang melibatkan ormas-ormas Islam dan LSM melahirkan pergumulan pemikiran antara kebebasan beragama dengan penistaan agama.

Menurut mereka yang berpandangan kebebasan beragama, agama apapun keyakinan apapun wajib diberikan hak hidup sebebas-bebasnya.

"Sedangkan yang berpandangan penistaan agama berpendapat kebabasan beragama harus ada batasnya. Kebebasan tanpa batas cenderung menjadi penistaan agama," kata Menag kepada wartawan di sela acara dialog yang berlangsung di Gedung Kementerian Agama Jl. MH Thamrin Jakarta Pusat, Rabu (30/3).

Menag menyatakan, simbol-simbol agama tidak bisa dimaknai dengan sebebas-bebasnya.

Seperti Kasus Temanggung, katanya, dimulai dengan penghinaan terhadap simbol agama, dengan memberi persepsi yang salah tentang Hajar Aswad diartikan sebagai kelamin perempuan, dan Jamarat sebagai kelamin laki-laki.

"Jadi simbol agama jangan diartikan dengan persepsi yang salah. Setiap kebebasan pasti ada batasnya. Kebebasan memberikan persepsi terhadap sesuatu akan menganggu terhadap kerukunan umat beragama di Indonesia," tandas Suryadharma Ali.

Menurut Menag, dialog Ahmadiyah sekarang ini cukup berkembang dan berkeadilan dari berbagai sudut pandang semua pihak diundang.

Ada yang mengatakan ajaran Ahmadiyah tidak bertentangan dengan Islam seperti yang dianut LSM dan Ahmadiyah sedangkan ormas Islam seperti FUI dan FPI berpendapat ajaran Ahmadiyah bertentangan dan menodai Islam sehingga harus dibubarkan.

Namun, kata Menag, sangat disayangkan jika sampai akhir dialog Ahmadiyah JAI tidak mau datang.

"Jadi semua pandangan telah disampaikan dalam dialog selama 4 hari tersebut. Jadi dialog ini seimbang dan seluruhnya diakomodir," tegas Menag.

Seperti diketahui dialog Ahmadiyah digelar Kemenag sejak Selasa dan Rabu (22-23/3) yang dilanjutkan Selasa dan Rabu (29-30/3) di Kantor Kemenag jalan Thamrin. "Akan dibentuk tim perumus untuk menyimpulkan hasil dialog ini,".

Tim perumus nantinya akan merumuskan secara tuntas dan komprehensf hasil dialog. Jadi sampai sekarang belum ada kesimpulannya.

"Saya sendiri tidak akan mendahului kesimpulan hasil dialog," ujar Menteri Agama Suryadharma Ali.

Apa hasil dari dialog tersebut, umat Muslim masih menanti.

Apakah bubar atau Ahmadiyah tetap masih menjadi duri dalam daging bagi umat Islam. Semua masih menanti.



JEDA - PRAMUKA YANG TAK LAGI SEKSI



Pramuka yang Tak Lagi Seksi
Editor: Jodhi Yudono
Selasa, 29 Maret 2011 | 09:13 WIB



JAKARTA, KOMPAS.com--Dewi (8), seorang murid sekolah dasar negeri kelas tiga di kawasan Jalan Menoreh Raya, Semarang Barat, menggunakan pakaian seragam Pramuka saat sekolah setiap Sabtu.

Tapi ketika ditanya apakah itu Pramuka, dia hanya menggeleng-gelengkan kepala pertanda tidak tahu apa artinya.

Ketika ditanya lagi apakah dirinya mengikuti kegiatan pelatihan Pramuka di sekolahnya, dia juga menggelengkan kepala pertanda dirinya tidak pernah ikut kegiatan Pramuka.

Dia hanya mengetahui bahwa setiap Sabtu saat dirinya sekolah, dia harus menggunakan baju dan rok Pramuka, lengkap dengan dasi Merah Putih serta berbagai atribut yang melekat di lengan dan dadanya.

Ketidaktahuan anak sekolah dasar mengenai makna Pramuka boleh jadi juga dialami oleh ratusan, ribuan bahkan jutaan anak-anak sekolah di berbagai daerah di Indonesia.

Ya, sekarang ini Pramuka tidak lagi "seksi", tidak lagi diminati oleh anak-anak sekolah dasar, sekolah menengah dan apalagi para remaja, di tengah maraknya berbagai kegiatan dan aktivitas yang jauh lebih menarik dibanding kepanduan itu.

Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng mengakui bahwa Pramuka memang sudah tidak "seksi" dan menarik lagi bagi kalangan anak-anak sekolah dasar dan menengah serta remaja.

"Pramuka memang tidak" seseksi" dengan kegiatan lain seperti gang motor, sehingga banyak saat ini anak-anak tidak tahu apa itu Pramuka," kata Andi.

Bahkan Andi mengatakan Pramuka dianggap oleh anak-anak dan remaja sebagai kegiatan yang "kuno "dan ini dampaknya tidak ada lagi anak sekolahan yang berminat mengikuti ekstrakulikuler atau pelajaran Pramuka di sekolah-sekolah.

Akibat tidak adanya  yang berminat mengikuti Pramuka, kata Andi, maka ribuan gugus depan Pramuka di sekolah-sekolah tutup atau tidak lagi menjalankan aktivitasnya.

"Kecenderungan mundurnya kegiatan Pramuka ini nampaknya terjadi setelah reformasi, para generasi muda seolah menganggap Pramuka itu kuno," katanya di sela sosialisasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka di Semarang, Sabtu (26/3).

Gerakan Pramuka, kata Menpora, seiring reformasi menghadapi berbagai tantangan, seperti anggapan kuno, sebab sarana generasi muda dalam mengaktualisasi diri semakin beragam, baik secara positif maupun  negatif.

Andi mengatakan, target gerakan atau organisasi Pramuka memang kaum remaja sehingga gerakan pramuka harus dibuat lebih" seksi", direvitalisasi, termasuk dalam berbagai kegiatan dan penampilannya agar dilirik kaum muda.

Menurut dia, upaya revitalisasi Gerakan Pramuka akan diawali dengan pengaktifan kembali gugus depan Pramuka yang selama ini tidak berfungsi dengan baik dan seolah-olah hanya tinggal namanya.

"Dari sekitar 270.000 gugus depan yang ada di Indonesia, sebagian besar hanya tinggal namanya. Para siswa hanya menggunakan seragam pramuka di sekolah setiap Sabtu, namun hampir tidak ada aktivitas kepramukaan," katanya.

Mandeknya kegiatan Pramuka di sejumlah gugus depan sekolah itu salah satunya disebabkan tidak adanya guru pembimbing yang mau membina para siswa dalam melakukan aktivitas kepramukaan.

Karena itu, Menpora menekankan pentingnya revitalisasi Gerakan Pramuka, terutama di tingkat gudep sekolah dengan menghidupkan kembali aktivitas kepramukaan sebagai sarana aktualisasi diri para siswa.

Ketua Kwarnas Nasional Gerakan Pramuka Azrul Azwar mengakui bahwa Pramuka saat ini sudah mulai banyak tak diminati oleh anak-anak sekolah dan remaja sehingga perlu dilakukan revitalisasi.

Menurut Azrul , banyak anak-anak sekolah yang tidak lagi berminat ikut aktif kegiatan Pramuka tapi hanya sekedar menggunakan pakaian Pramuka tanpa tahu apa maknanya.

"Pramuka harus direvitalisasi sehingga maju dan menjadikan lebih menarik bagi anak-anak sekolah," kata Azwar.

Wadah

Keprihatinan terhadap keberlangsungan Pramuka, juga disampaikan oleh Wakil Presiden Boediono yang secara khusus menyempatkan diri datang dalam acara sosialisasi tersebut.

Menurut Wapres , Pramuka sesungguhnya mampu menjadi salah satu wadah untuk membentuk karakter bangsa, sehingga kemajuan gerakan itu merupakan tanggungjawab semua elemen bangsa.

"Wadah Pramuka adalah untuk membentuk karakter bangsa. Saya bisa merasakan petapa pentingnya Parmuka untuk memberikan kontribusi pembentukan karakter generasi muda," kata Wapres Boediono.

Boediono mengemukakan tujuan utama Gerakan Pramuka adalah membina dan membentuk karakter terutama generasi muda.

Oleh sebab itu, lanjut Waptres, apa yang dilakukan ini harus merupakan tugas semua elemen bangsa.

Wapres menilai generasi muda adalah penerima estafet kehidupan bangsa masa depan dan kalau mutu dan kualitas bangsa mau lebih baik maka generasi muda juga harus lebih baik.

"Ini adalah tugas kita semua dan kompoenan bangsa harus menyiapkan bangsa agar lebih baik lagi. Tidak ada yang lebih tanggung jawab kalau bukan generasi tua," tegas Boediono.

Boediono menggarisbawahi untuk memajukan Gerakan Pramuka semua pihak harus ikut dan berkontribusi.

"Saya senang dan semangat ini sudah mulai tumbuh dan mantap apalagi dengan adanya UU yang baru ini," kata Wapres.

Boediono mengingatkan karakter bangsa hanya bisa dibentuk dengan kegiatan menyentuh karakter sehingga tidak bisa dengan hafalan saja.

Karakter bangsa, katanya menambahkan, bisa dibentuk kalau melaksanakan kegiatan yang terkait dengan pembentukan karakter, dengan cara "learning by doing".

Kurikulum baku

Wakil Presiden Boediono pun terpaksa mengeluarkan jurus jitu untuk kembali menggairahkan Pramuka dikalangan anak-anak sekolah dan pemuda.

Jurus jitu itu adalah menginstruksikan kepada pihak terkait agar kurikulum atau bahan pendidikan Pramuka yang baku segera dibentuk atau diperbaharui dengan cara menarik agar bisa menjadi pegangan bagi kemajuan Pramuka.

"Kurikulum harus segera dibentuk dengan cara menarik pokok substansinya dan segera saja dibagikan kepada semua pembimbing dan gugus depan. Kalau bisa tahun ini juga bisa dibagikan kepada instruktur atau pembina Pramuka," kata Wapres.

Wapres mengatakan, kantor Wapres akan mendukung pembentukan kurikulum Pramuka dan akan melakukan koordinasi dengan Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Pendidikan Nasional, serta Kementerian Agama.

"Saya akan dukung sepenuhnya untuk memajukan Pramuka bersama kementerian yang ada saat ini. Tadi saya juga mendapat khabar kalau TNI dan Polri juga siap memajukan Pramuka," kata Boediono.

Boediono mengajak adanya undang-undang ini agar bisa memberikan semangat bagi emua pihak untuk merevitalisasi Pramuka.

Dalam sambutannya Wapres juga menjanjikan bahwa pihaknya akan memberi dukungan bagi Gerakan Pramuka.

"Saya ingin  janjikan bahwa kantor Wapres akan memberi dukungan penuh bagi gerakan Pramuka. Apa pun yang bisa dilakukan ditingkat pemerintahan pusat, saya siap lakukan koordinasi," kata Wapres Boediono yang disambut tepuk tangan.

Menteri Andi Mallarangeng mengatakan, perkembangan Pramuka di Indonesia sesungguhnya cukup panjang, pada masa pemerintah Hinda Belanda tahun 1912 yang ada saat itu dikenal dengan nama Kepanduan, hingga akhirnya RUU Gerakan Pramuka selesai dibahas dan disahkan menjadi UU oleh DPR dan ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Dengan disahkan UU Gerakan Pramuka, maka Pramuka di Indonesia telah memiliki payung hukum dan lebih bergairah dalam melakukan berbagai kegiatan," katanya.

Pramuka selama ini telah memberikan kontribusi yang cukup penting dalam perjuangan negeri ini.

Dengan disahkan UU Gerakan Pramuka, maka akan menjadi pijakan penting untuk melakukan Revitalisasi Gerakan Pramuka sesuai yang diinginkan pemerintah.

Lahirnya UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Gerakan Pramuka, sangat penting artinya bagi perkembangan Kepramukaan di Indonesia, mengingat sebelumnya gerakan Pramuka hanya berpedoman pada Keputusan Presiden (Keppres).

UU Gerakan Pramuka mengatur berbagai hal, mulai asas, fungsi dan tujuan, pendidikan Kepramukaan, hak dan kewajiban.

Tujuan UU diharapkan bisa tercapai yaitu membentuk Pramuka memiliki kepribadian yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berjiwa patriotik, taat hukum, disiplin dan menunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Andi mengharapkan dengan dikeluarkannya undang-undang itu maka kegiatan Pramuka bisa hidup lagi dan banyak anak-anak sekolah dan remaja bisa mengikuti sehingga terbentuk karakter bangsa yang baik dan handal.


JEDA - Koma dan Koma



Koma dan Koma
Editor: Jodhi Yudono
Minggu, 27 Maret 2011 | 09:17 WIB



Bre Redana

Kami bertumbuh bersama Teater Koma. Ketika kelompok ini mulai beranjak naik pada awal tahun 1980-an, di panggung kami melihat Ratna Riantiarno, Sari Madjid, Priyo S Winardi, Taufan Chandranegara, Salim Bungsu, Rita Matu Mona, dan lain-lain, dalam gairah kemudaan mereka.

Kini, setelah sekitar 30 tahun, atau tepatnya 34 tahun terhitung sejak Teater Koma didirikan 1 Maret 1977, meski semua saja tentu bertambah tua—aduh, 30 tahun usia bertambah—tetap tak hilang kegairahan berteater, kegairahan berkesenian itu. Ditambah kerutinan pentas, pengalaman, dan dedikasi, Teater Koma makin kelihatan menemukan kewajaran dengan bentuk yang dipilihnya. Seperti muara hidup, yakni kewajaran, begitulah Teater Koma sekarang.

Panggung kian jadi milik mereka. Panggung telah menjadi bagian dari diri mereka untuk mengomunikasikan diri secara apa adanya, mempertautkan rasa dari mereka yang di panggung dengan yang menonton. Itulah beda menonton teater, pertunjukan panggung, dengan menonton film. Dalam bahasa Rendra dulu, dalam film yang terjadi adalah komunikasi image. Bayangan. Sementara di panggung yang terjadi adalah komunikasi antarmanusia, berdarah daging, rasa. Tak ada yang bisa ditipu. Orang tak bisa berpura-pura menjadi wajar—kalau tidak ingin berisiko kelihatan kurang wajar.

Menonton apa yang terjadi di panggung dari pertunjukan mereka Maret ini di TIM, Sie Jin Kwie Kena Fitnah, terbayang apa yang dilakoni teman-teman ini di belakang panggung, dalam kehidupan sehari-hari. Yakni kesetiaan. Dedikasi. Yang pada gilirannya meneteskan contoh, memunculkan generasi berikut. Di panggung kini muncul Rangga, putra pasangan juragan Teater Koma, Riantiarno-Ratna. Perawakannya besar, tinggi, melebihi ukuran rata-rata orang Indonesia. Semasa Teater Koma masih bersanggar di Jalan Setiabudi, tahun 1980-an, Rangga masih kecil, mengintip-intip latihan.

Dalam Sie Jin Kwie sekarang dia memegang peran utama sebagai tokoh Jin Kwie, sepanggung dengan tantenya, Sari Madjid. Juga dengan pemain-pemain lain, yang kemungkinan ia panggil oom dan tante.

Cerita klasik

Pertunjukannya bagus. Artistik, skenografi, digarap Syaeful Anwar dan Onny. Yang disebut pertama itu dari dulu sudah sering mengurusi soal ini bagi Teater Koma. Dia hafal dan fasih menjawab apa yang dibutuhkan. Begitu pun penataan cahaya, oleh Donny Birkoed. Tak ada yang lebih, tak ada yang kurang.

Penonton senang, tertawa-tawa, terhibur sejak lampu gedung dipadamkan dan pertunjukan dimulai. Mereka tertawa-tawa dengan pagelaran wayang tavip di panggung, yang didalangi M Tavip yang kocak. Dalang lain adalah Budi Ros—juga pemain lama. Pertunjukan ini memadukan opera china, boneka potehi, golek menak, wayang wong, selain wayang tavip tadi. Sutradara Riantiarno punya kedekatan dengan kesenian rakyat seperti itu. Dia berasal dari Cirebon, daerah yang kaya dengan kesenian rakyat, seperti tarling, sandiwara, dan akrobat genjring.

Di sekitar tempat tinggalnya, pada bulan Agustus, ia sering memasang berbagai umbul-umbul, meriah—seperti jiwanya.

Sie Jin Kwie diangkat dari cerita klasik China, pertengahan abad ke-7 pada zaman Dinasti Tang. Raja muda Sie Jin Kwie dikhianati sehingga Kaisar Tang Lisibin menjatuhkan hukuman mati terhadapnya. Karena pembelaan orang-orang yang mengetahui kesetiaan Jin Kwie kepada raja dan kerajaan, hukuman mati ditunda.

Cerita itu ditampilkan dalam pertunjukan sepanjang empat jam. Seperti kebiasaan Teater Koma, pertunjukan diwarnai sindiran-sindiran terhadap keadaan masyarakatnya, yang mengundang gerrr.

Ruang kebudayaan 

Zaman memang berubah kini. Tempat di mana mereka biasa berpentas, TIM, makin kelihatan usang. Namun, Teater Koma tak kehilangan komunitasnya. ”Branding” telah terbentuk. Komunitas baru selalu muncul. Ada yang menonton lebih dari satu kali. Bukan semua mereka dari lingkungan ”kesenian serius”. Pemegang merek Louis Vuitton, Inka Wardhana, itu misalnya, adalah penonton setia kelompok ini. Tanpa peduli dengan asal-usul teater modern, dia menyebut pertunjukan ini ”lenong”. Kalau dia bilang mau ke TIM nonton lenong, maksudnya adalah nonton Teater Koma. Sopirnya sering keliru mengira ke PIM—Pondok Indah Mal. Teater Koma telah mengisi transisi kebudayaan urban kontemporer yang mengalami kekosongan; setelah yang didefinisikan sebagai kesenian tradisional, seperti wayang orang Bharata dan Srimulat, tak mampu lagi bertahan.

Di tengah kekenesan pertunjukan musikal dengan tiket mahal, Teater Koma setia pada pilihannya. Pada pertunjukan musikal yang ramai belakangan, yang muncul adalah kekenesan. Para artis pendukung hidup dengan semangat industrial. Pengalamannya pengalaman sinetron. Komunikasi mereka komunikasi editing, bukan komunikasi berdarah daging. Kontak rasa dan kesadaran ruang secara konkret tidak ada. Ini kritik dan otokritik. Mustahil ada pertunjukan bagus dengan kondisi macam demikian, Bung.

Berbeda dari para seniman teater yang lebur dalam ruang dan waktu di mana mereka menempa kepekaan. Para seniman Teater Koma—sebagaimana para pekerja teater lain yang tak banyak jumlahnya kini—adalah orang yang setia pada jalan kesenian mereka. Kadang, di Jalan Cempaka yang sepi di tengah malam, terlihat beberapa pemain berjalan keluar dari rumah Riantiarno yang sekaligus adalah sanggar mereka. Mereka berasal dari berbagai kalangan, termasuk pedagang di pasar burung Jakarta Timur.

Koma, diartikan sebagai tanda baca, semoga seperti dikatakan Ratna Riantiarno yang selalu manis itu, tetap merupakan koma, bukan titik. Terus berjalan, mengisi ruang kebudayaan masyarakat urban, yang kian kering dan beratmosfer industrial.