Senin, 21 Maret 2011

BERSIHAR LUBIS



WIN-WIN ALA JEPANG

RIAUPOS > Saturday, 19 Mar 2011 | Posted by IDRIS



Mungkin karena wilayah Jepang itu sedikit tetapi penduduknya banyak, membuat mereka harus survival. Dan cerdik, bagai si kancil dalam kisah kanak-kanak Indonesia.

Tak pula melodramatik, yang meraung-raung berkepanjangan tatkala ditimpa musibah. Ada kepercayaan diri bahwa tragedi apapun akan lampau jika dihadapi dengan kepala dingin dan etos pantang menyerah.

Kita kagum warga Jepang tetap disiplin antre, berbagi sembako, atau berada di pengungsian di tengah akibat amuk tsunami, gempa dan geger nuklir di Jepang.
Beberapa fasilitas publik pun segera beroperasi. Tak ada yang menangguk di air keruh, walaupun prahara yang dahsyat itu telah menelan korban 10.000 jiwa lebih.
Ekonomi Jepang juga porak-poranda tak terkira-kira. Dua manufaktur besar di Jepang, Toyota dan Sony menghentikan sebagian besar produksi pasca gempa dan tsunami yang menghantam Jumat (12/3) silam.

Sony Corp menghentikan produksi di enam pabrik di Provinsi Miyagi. Pabrik Sony di Provinsi Fukushima telah mengevakuasi seluruh pegawainya. Toyota menghentikan produksi di empat pabriknya di Timur Laut Provinsi Miyagi, lalu di Iwate, dan di Hokkaido. Produsen mobil Nissan juga menghentikan produksi 4 pabriknya.

Namun sebanyak-banyaknya kerugian, jangan abaikan laba sekecil apapun. Tadinya kita menduga berbagai proyek besar Jepang di Indonesia akan dijadwal ulang. Ternyata tidak.
Salah satunya, adalah proyek Metropolitan Priority Areas (MPS) tetap go ahead (terus jalan). Wakil Menteri Luar Negeri Jepang Makiko Kikuta memastikan itu kepada Menko Perekonomian RI Hatta Rajasa di Jakarta pada Kamis (17/3) lalu. Termasuk berbagai proyek mendesak akan tetap berjalan, seperti perluasan Pelabuhan Tanjung Priok dan pembangunan pelabuhan internasional yang baru.
Masih ada pembangunan jalan di Jabodetabek, bandara dan infrastruktur perhubungan dan berbagai proyek besar lainnya yang total berjumlah 9 buah, yang tentu saja dengan biaya besar.

Kira-kira, dari keuntungan proyek besar ini, mungkin juga Jepang mempunyai proyek sejenis di negara lain, minimal bisa membantu rekonstruksi pemulihan dan pembangunan di negara mereka. Sungguh, Jepang adalah bangsa yang sangat siap menolong diri sendiri, dan apalagi dibantu pula oleh solidaritas dari berbagai negara lain.

Di sisi lain, kita menyaksikan betapa pula industri otomotif dan elektronik Jepang berantakan digerus oleh bencana gempa dan tsunami.

Namun, lagi-lagi Jepang rada tertolong karena sudah lama mempunyai kebijakan pabrik jauh nun di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Inilah, sebuah kebijakan yang hemat dalam menghemat produksi dan penyaluran, seraya menguasai pasar yang lebih luas di berbagai negara konsumen.

Jepang menyadari lahan kosong di negaranya tak lagi tersedia, dan lalu melirik negara lain, apalagi disertai tersedianya buruh murah.

Di Indonesia saja, kita mendengar betapa 70 persen mobil Nissan yang dipasarkan di Indonesia justru diproduksi di Indonesia. Ihwal perakitan tak lagi masalah karena semuanya bisa dilakukan di Indonesia.

Gempa dan tsunami boleh mengambil korban, tapi pabrik Nissan di Indonesia terus berjalan. Mobil Toyota juga sudah dirakit di Indonesia. Paling-paling yang menjadi masalah adalah suku cadang alat yang masih didatangkan dari Jepang, tetapi sebagian sudah dipasok oleh Thailand yang juga industri jauh Jepang.

Bahkan, PT Astra Daihatsu Motors akan membangun pabrik mobil di Karawang senilai 400 juta dolar AS, dan berkapasitas produksi 100 ribu unit setahun. Presiden Direktur Astra Daihatsu Motor Sudirman MR di Jakarta, Rabu (16/3) lalu menegaskan bahwa total produksi mobil Daihatsu bakal mencapai 430 ribu unit setahun.

Khusus industri suku cadang seusai era gempa dan tsunami ini, tak mustahil juga bisa berpindah ke berbagai negara, dalam bentuk joint venture antara Jepang dan negara mitranya, termasuk dengan Indonesia.

Jepang, seperti Cina dan India terkenal dengan politik ekonomi yang win win solution, selaras dengan kultural Timur. Ajaran leluhur kebudayaan Timur yang memandang perlunya keseimbangan, rupanya juga mempengaruhi pola perekonomian negara-negara Timur, termasuk Jepang. Cina, misalnya, mengenal filsafat Yin dan Yang.

Tidak seperti AS dan Eropa yang cenderung head to head, dan berakibat win-loose. Watak individualis Barat memang cenderung memenangkan pertarungan, mungkin sebagai kelanjutan era kolonialisme dan imperialisme, yang kini berwujud neokolonial dan neoimperial, meskipun dalam wujud perekonomian. Memang, tak lagi mengerahkan resimen militer dengan persenjataannya, melainkan dengan multinational corporation (MNC) yang beroperasi di banyak negara.

Bagi Indonesia, kearifan budaya perekonomian Jepang itu sesungguhnya merupakan peluang atau oportunity. Misalnya, mengapa kita tidak segera melakukan negosiasi untuk menangkap peluang relokasi industri Jepang ke Indonesia.

Inilah politik perekonomian yang win-win solution, yang cocok dengan kepribadian sesama negara-negara Timur. Bukan head to head, siapa kuat dia berkuasa yang sangat Barat tersebut.



BERSIHAR LUBIS



RESHUFFLE ITU PERCUMA

RIAUPOS > Saturday, 12 Mar 2011 | Posted by IDRIS



Sekiranya reshuffle kabinet berlangsung juga, adakah jaminan Indonesia akan menapak masa depan gemilang? Saya ragu, bahkan sekalipun koalisi partai politik pendukung pemerintahan mem-pertahankan yang lama, bahkan jika ditambah dengan PDI Perjuangan dan Partai Gerindra.

Sama ragunya saya jika misalkan Golkar dan PKS dikeluarkan dari koalisi, sehingga tak ada lagi, yang katanya musuh dalam selimut, belumlah sebuah jaminan bangsa ini meraih segala cita-cita indah dan bahagia.

Akan tetapi manakala kaum elit di Indonesia telah matang berdemokrasi dengan menghormati pemisahan kekuasaan ala Trias Politika yang diperlebar, dipertinggi dan diperdalam, barangkali banyak orang akan berharap munculnya cercah-cercah harapan masa depan yang meyakinkan.

Disebut demokrasi yang diperluas dalam makna bukannya malah eksekutif dan legislatif saling kompak dan harmonis, apalagi ikut bergabung pula kekuatan judikatif, maka jadilah sumber kolusi, korupsi dan nepotisme semakin berkecambah.

Inilah kekeliruan memandang. Menganggap bahwa kekuatan Trias Politika itu harus harmonis. Namanya saja sudah pemisahan kekuasaan mestinya tidak boleh ada yang menjadi subordinasi dari yang lainnya.

Kita merasa jika tak sependapat, maka negara akan runtuh, padahal beda pendapat hanyalah kontrol agar pemerintahan dan negara berjalan di rel yang benar.
Bila Montesquieu hanya menyebut legislatif, eksekutif dan judikatif, sebetulnya kekuasaan itu juga bisa mencakup lembaga bank sentral. Yang paling ideal adalah agar tidak terjadi campur tangan dan kolusi serta pemufakatan jahat antara pelbagai pusat kekuasaan itu yang bisa menggumpal menjadi absolutisme kekuasaan yang monolit dan korup.

Karena itu dituntut profesionalisme dan independensi bidang ekonomi, seperti jabatan Chairman Federal Reserve (Bank Sentral) di Amerika Serikat.
Agar tidak mudah diperalat oleh elite yang menjadi the ruling party menduduki kepresidenan dan Kongres atau Senat, kesediaan untuk mematuhi aturan main, menghargai, menyegani dan menghormati peranan masing-masing sektor merupakan suatu kelembagaan yang menciptakan iklim saling percaya dalam masyarakat.

Di kita ini malah pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia diduga kuat berbau politik uang, dan kasusnya sedang di tangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Lembaga penegakan hukum mesti menjamin bahwa jika ada abused of power (penyalahgunaan kekuasaan), maka hamba hukum akan bertindak kendatipun yang ditindak adalah salah seorang pengurus DPP partai politik yang berkuasa, termasuk para menteri, gubernur, bupati dan wali kota yang dicalonkan oleh partai berkuasa, tetapi jika melakukan korupsi harus ditindak.

Ketegaaan penegakan hukum itu akan merupakan advertensi yang memikat bagi kaum penanam modal, baik domestik dan asing. Inilah yang membuat modal asing mengalir deras, memicu pertumbuhan dan menimbulkan berbagai pengaruh yang luar biasa bagi pemerataan kesejahteraan di tengah-tengah masyarakat.

Kita ingat di masa Alan Greenspan menjadi gubernur Bank Sentral, telah menyedot triliunan dolar dana masyarakat di luar AS, dipercayakan untuk membeli obligasi AS.

Luar biasa. Ketika dulu Alan Greenspan hanya memberi suku bunga 2 persen sejak 2001, dan bahkan turun hingga 1 persen pada 2003, toh 4 triliunan dolar AS harta milik dunia disimpan di AS.

Kata kuncinya, masyarakat harus percaya bahwa korupsi, KKN, atau menyalahgunakan kekuasaan harus tidak lagi bertapak di bumi Indonesia. Trauma berapa banyak pejabat negara dan daerah, termasuk kaum legislatif yang menjadi terdakwa dan akhirnya narapidana sejak awal era Reformasi adalah iklan buruk negeri ini.

Walau masih ada pejabat yang bersih, tapi hukum sosial memang jamak mengambil contoh buruk, walau segelintir, atas sebuah bangsa. Bahwa, kita memang bangsa yang gemar korupsi hingga ke jajaran kekuasaan terkecil sekalipun.

Yang diperlukan adalah revolusi mental dan budaya untuk menerapkan demokrasi sejati dengan pembatasan kekuasaan yang setara dan efektif untuk mencegah dan menindak KKN. Kita sudah lama sekarat justru karena ketika mulai alergi terhadap demokrasi. Seburuk-buruknya ekses demokrasi, jauh lebih buruk lagi jika demokrasi tidak ada, atau dipasung serta direduksi.

Sekalipun Presiden Yudhoyono mengundang Alan Greenspan sebagai penasihat ekonomi RI, Greenspan tidak akan bisa apa-apa, jika mental kolektif elite RI masih feodal, dinastik, despotik, dan tidak punya sportivitas untuk menghargai pendapat orang lain yang berbeda.

Jika rasa percaya anggota masyarakat terhadap trauma pemerintahan yang korup masih menghunjam, maka puluhan Alan Greenspan juga tidak akan berdaya membangkitkan ekonomi RI.

Alan Greenspan sukses di AS bukan hanya karena dia seorang “begawan ekonomi”, tapi karena di AS berlaku kelembagaan pasar yang dijamin hukum yang impartial dan mendukung pertumbuhan produktifitas dan kreativitas sebagai dinamo penggerak ekonomi.

Yang lebih diperlukan ialah perubahan kelembagaan dan mental kolektif ke arah integritas elite yang bermoral, berdedikasi dan bertanggung jawab secara transparan dan institusional. Baik di pusat dan daerah. Baik di eksekutif, legislatif dan judikatif. Reshuffle kabinet itu sia-sia jika sekadar ganti orang.




CHAIDIR



UNTUNG ADA RATIH

RIAUPOS > Monday, 21 Mar 2011 | Posted by IDRIS



BENCANA yang menimbulkan korban jiwa, selalu membawa kepedihan mendalam. Apalagi musibah besar seperti tsunami di Jepang. Sepuluh hari pasca musibah, korban meninggal dunia dan hilang diberitakan mencapai 18.000 jiwa.

Jangankan ribuan jiwa, satu jiwa saja melayang menimbulkan duka lara bagi orang-orang tercinta.

Dalam perspektif transcendental, musibah selalu menjadi sebuah  iktibar. Semuanya takdir. Bahwa hidup ini hanya sementara. Bahwa Zat Yang Maha Kuasa yang punya skenario, bagi yang ditakdirkan menjadi korban tsunami itu, hari Sabtu 12 Maret 2011 tak pernah ada. Kisah mereka sampai di situ.

Tapi dalam perspektif akal manusia, yang menggunakan ilmu pengetahuan sebagai instrumen, bencana selalu dievaluasi untuk meminimalisir akibatnya bila monster sejenis datang lagi di kemudian hari.

Kita percaya, betapa maju pun masyarakat Jepang, mereka  memiliki sistem kepercayaan yang kuat, bahkan disebut, tidak ada negara modern lain di dunia ini yang memiliki sistem kepercayaan primitif sekuat Jepang.

Shinto merupakan kepercayaan asli Jepang. Shinto didasarkan pada pemikiran yang percaya dengan banyak dewa (polytheisme) dan kekuatan alam (matahari, bulan, gunung, laut, ombak, angin, petir, dll). Hal ini berpengaruh pada sikap hormat yang sangat tinggi masyarakat Jepang kepada alam (hansblox.blogspot.com).

Namun Jepang modern telah menyiasati bagaimana meminimalkan korban akibat gempa bumi. Jepang tidak ingin musibah seperti apa yang mereka sebut sebagai Gempa Besar Kanto (Great Kanto Earthquake) pada 1923 yang menewaskan 142.000 orang, terulang (vivanews.com).

Artinya, Jepang menyadari, sudah menjadi takdir alam mereka menempati kepulauan yang rawan gempa, mereka tak mungkin pindah ke lain benua, tapi mengurangi korban adalah wilayah akal manusia.

Itulah yang kita pahami. Jepang merencanakan gedung-gedung bertingkat yang bersahabat dengan gempa. Lihat, betapa anggota parlemen Jepang tidak panik. Mereka yakin gedungnya tak akan runtuh walau digertak gempa 8,9 Skala Richter.
Early warning system (sistem peringatan dini) untuk menghadapi tsunami pun dirancang sehingga masyarakat bisa menyelamatkan diri sedini mungkin. Rakyat pun dilatih untuk bertindak cepat.

Seperti kita dengar dari penyiar televisi, setiap warga selalu siaga dengan sebuah kantong yang berisi keperluan sangat vital dalam keadaan darurat, yang langsung bisa dibawa menyelamatkan diri.

Oleh karena itu kalau kita tonton bencana hebat yang terjadi itu, korban bisa berlipat ganda, tapi Jepang telah belajar banyak dari Gempa Besar Kanto. Rakyatnya telah terlatih.

Kita sudah punya UU Nomor 56/1999 tentang Rakyat Terlatih. Rakyat Terlatih (Ratih) adalah komponen dasar kekuatan pertahanan keamanan negara yang mampu melaksanakan fungsi ketertiban umum, perlindungan rakyat, keamanan rakyat, dan perlawanan rakyat dalam rangka penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.

Ratih bertujuan untuk meningkatkan daya dan kekuatan tangkal bangsa dan negara, membantu TNI dan Polri menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, dan menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat.

Sebenarnya wajar bila TNI dan Polri membesarkan Ratih. Kendalanya barangkali ada dua. Pertama, pendanaan; kedua, persepsi masyarakat. Padahal Ratih sebuah keniscayaan.



CHAIDIR



HANTU WIKI

RIAUPOS > Monday, 14 Mar 2011 | Posted by IDRIS



David Jenkins wartawan The Sidney Morning Herald, salah satu koran Australia terkemuka, pada 10 April 1986 menulis artikel di harian tersebut. Tulisan itu dinilai menghina Presiden Soeharto.

Maka sehari kemudian Kedutaan Besar Australia di Jakarta didemo oleh KNPI. Australia menuai kecaman karena dinilai telah menghina Kepala Negara Republik Indonesia. Pemerintah Indonesia marah dan memboikot para wartawan Australia yang bertugas di Indonesia.

Tapi Bill Hayden, Menteri Luar Negeri Australia ketika itu, mengatakan pers di Australia memang mempunyai kebebasan mutlak dan tidak bisa dicampuri sama sekali oleh pemerintah.

Apa yang ditulis pers bukan berarti sama dengan sikap pemerintah. Kejadian itu masih tersimpan dalam catataan saya, karena nyaris membatalkan keberangkatan saya untuk studi di James Cook University, Townsville, Australia, pada krisis hubungan tersebut.

Beberapa hari kemudian dalam sebuah kunjungan ke peternakan sapi di luar Townsville, peternaknya mengatakan, mereka tak ada urusan sama sekali dengan tulisan di Sidney Morning Herald itu.

Pada suatu hari kemudian, Perdana Menteri Australia Paul Keating berkunjung ke Jakarta untuk bertemu Presiden Soeharto. Konon, dengan takzim Perdana Menteri Australia itu bertanya kepada Presiden Soeharto sekaligus mohon petunjuk.

Australia ingin belajar dari Indonesia bagaimana caranya agar bisa menjadi negara republik. Dengan santun Presiden Soeharto menjawab, Indonesia juga ingin belajar dari Australia bagaimana caranya menjadi negara kerajaan.

Perbincangan itu mungkin hanya sekadar humor politik. Namun pada 12 Agustus 1999, Australia sungguh-sungguh melakukan referendum. Rakyat Australia dihadapkan pada dua pilihan, apakah setuju untuk membentuk sebuah Republik Australia, atau tidak.

Hasilnya, 45,13 persen untuk jawaban iya, dan 54,87 persen untuk jawaban tidak. Dengan demikian, mayoritas rakyat Australia memilih Australia tetap berbentuk kerajaan. Monarchi parlementer dengan pers bebas.

Dalam perspektif kebebasan pers itu, beberapa hari lalu, koran The Sidney Morning Herald, Australia kembali berulah. Kali ini Presiden SBY yang kena sengatnya. Mengutip dokumen Wikileaks, The Sidney Morning Herald dan koran The Age, menyebut Presiden SBY menyalahgunakan kekuasaan.

Berita tersebut mencuri perhatian. Sebab, situs Wikileaks, organisasi internasional yang bermarkas di Swedia ini, memang gemar menerbitkan dokumen-dokumen rahasia entah dari mana dan ba-gaimana cara mereka mendapatkannya.

The Sidney Morning Herald memang telah memuat hak jawab atas berita yang merugikan Presiden SBY dan bangsa Indonesia tersebut, juga permintaan maaf secara terbuka.

Demikian pula permintaan maaf Dubes AS di Indonesia yang disebut-sebut oleh Wikileaks sebagai salah seorang narasumber. Tapi nasi sudah jadi bubur, hak jawab dan permintaan maaf itu tak seimbang dengan luka yang ditimbulkan.

Ketidaktepatan dan ketidakadilan informasi yang dikenal dengan asimetri informasi di abad informasi canggih ini sering membawa korban, banyak orang dihukum walau tak bersalah dan banyak orang bersalah tak dihukum. Asimetri informasi yang dikemas oleh negara maju, agaknya telah menjadi momok alias hantu.

Adakah karena itu maka situs yang  membuat heboh itu bernama Wikileaks? Leak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya hantu, maka Wikileaks berarti hantu-hantu wiki. Iya tak iya…