Senin, 04 April 2011

JEDA - Koma dan Koma



Koma dan Koma
Editor: Jodhi Yudono
Minggu, 27 Maret 2011 | 09:17 WIB



Bre Redana

Kami bertumbuh bersama Teater Koma. Ketika kelompok ini mulai beranjak naik pada awal tahun 1980-an, di panggung kami melihat Ratna Riantiarno, Sari Madjid, Priyo S Winardi, Taufan Chandranegara, Salim Bungsu, Rita Matu Mona, dan lain-lain, dalam gairah kemudaan mereka.

Kini, setelah sekitar 30 tahun, atau tepatnya 34 tahun terhitung sejak Teater Koma didirikan 1 Maret 1977, meski semua saja tentu bertambah tua—aduh, 30 tahun usia bertambah—tetap tak hilang kegairahan berteater, kegairahan berkesenian itu. Ditambah kerutinan pentas, pengalaman, dan dedikasi, Teater Koma makin kelihatan menemukan kewajaran dengan bentuk yang dipilihnya. Seperti muara hidup, yakni kewajaran, begitulah Teater Koma sekarang.

Panggung kian jadi milik mereka. Panggung telah menjadi bagian dari diri mereka untuk mengomunikasikan diri secara apa adanya, mempertautkan rasa dari mereka yang di panggung dengan yang menonton. Itulah beda menonton teater, pertunjukan panggung, dengan menonton film. Dalam bahasa Rendra dulu, dalam film yang terjadi adalah komunikasi image. Bayangan. Sementara di panggung yang terjadi adalah komunikasi antarmanusia, berdarah daging, rasa. Tak ada yang bisa ditipu. Orang tak bisa berpura-pura menjadi wajar—kalau tidak ingin berisiko kelihatan kurang wajar.

Menonton apa yang terjadi di panggung dari pertunjukan mereka Maret ini di TIM, Sie Jin Kwie Kena Fitnah, terbayang apa yang dilakoni teman-teman ini di belakang panggung, dalam kehidupan sehari-hari. Yakni kesetiaan. Dedikasi. Yang pada gilirannya meneteskan contoh, memunculkan generasi berikut. Di panggung kini muncul Rangga, putra pasangan juragan Teater Koma, Riantiarno-Ratna. Perawakannya besar, tinggi, melebihi ukuran rata-rata orang Indonesia. Semasa Teater Koma masih bersanggar di Jalan Setiabudi, tahun 1980-an, Rangga masih kecil, mengintip-intip latihan.

Dalam Sie Jin Kwie sekarang dia memegang peran utama sebagai tokoh Jin Kwie, sepanggung dengan tantenya, Sari Madjid. Juga dengan pemain-pemain lain, yang kemungkinan ia panggil oom dan tante.

Cerita klasik

Pertunjukannya bagus. Artistik, skenografi, digarap Syaeful Anwar dan Onny. Yang disebut pertama itu dari dulu sudah sering mengurusi soal ini bagi Teater Koma. Dia hafal dan fasih menjawab apa yang dibutuhkan. Begitu pun penataan cahaya, oleh Donny Birkoed. Tak ada yang lebih, tak ada yang kurang.

Penonton senang, tertawa-tawa, terhibur sejak lampu gedung dipadamkan dan pertunjukan dimulai. Mereka tertawa-tawa dengan pagelaran wayang tavip di panggung, yang didalangi M Tavip yang kocak. Dalang lain adalah Budi Ros—juga pemain lama. Pertunjukan ini memadukan opera china, boneka potehi, golek menak, wayang wong, selain wayang tavip tadi. Sutradara Riantiarno punya kedekatan dengan kesenian rakyat seperti itu. Dia berasal dari Cirebon, daerah yang kaya dengan kesenian rakyat, seperti tarling, sandiwara, dan akrobat genjring.

Di sekitar tempat tinggalnya, pada bulan Agustus, ia sering memasang berbagai umbul-umbul, meriah—seperti jiwanya.

Sie Jin Kwie diangkat dari cerita klasik China, pertengahan abad ke-7 pada zaman Dinasti Tang. Raja muda Sie Jin Kwie dikhianati sehingga Kaisar Tang Lisibin menjatuhkan hukuman mati terhadapnya. Karena pembelaan orang-orang yang mengetahui kesetiaan Jin Kwie kepada raja dan kerajaan, hukuman mati ditunda.

Cerita itu ditampilkan dalam pertunjukan sepanjang empat jam. Seperti kebiasaan Teater Koma, pertunjukan diwarnai sindiran-sindiran terhadap keadaan masyarakatnya, yang mengundang gerrr.

Ruang kebudayaan 

Zaman memang berubah kini. Tempat di mana mereka biasa berpentas, TIM, makin kelihatan usang. Namun, Teater Koma tak kehilangan komunitasnya. ”Branding” telah terbentuk. Komunitas baru selalu muncul. Ada yang menonton lebih dari satu kali. Bukan semua mereka dari lingkungan ”kesenian serius”. Pemegang merek Louis Vuitton, Inka Wardhana, itu misalnya, adalah penonton setia kelompok ini. Tanpa peduli dengan asal-usul teater modern, dia menyebut pertunjukan ini ”lenong”. Kalau dia bilang mau ke TIM nonton lenong, maksudnya adalah nonton Teater Koma. Sopirnya sering keliru mengira ke PIM—Pondok Indah Mal. Teater Koma telah mengisi transisi kebudayaan urban kontemporer yang mengalami kekosongan; setelah yang didefinisikan sebagai kesenian tradisional, seperti wayang orang Bharata dan Srimulat, tak mampu lagi bertahan.

Di tengah kekenesan pertunjukan musikal dengan tiket mahal, Teater Koma setia pada pilihannya. Pada pertunjukan musikal yang ramai belakangan, yang muncul adalah kekenesan. Para artis pendukung hidup dengan semangat industrial. Pengalamannya pengalaman sinetron. Komunikasi mereka komunikasi editing, bukan komunikasi berdarah daging. Kontak rasa dan kesadaran ruang secara konkret tidak ada. Ini kritik dan otokritik. Mustahil ada pertunjukan bagus dengan kondisi macam demikian, Bung.

Berbeda dari para seniman teater yang lebur dalam ruang dan waktu di mana mereka menempa kepekaan. Para seniman Teater Koma—sebagaimana para pekerja teater lain yang tak banyak jumlahnya kini—adalah orang yang setia pada jalan kesenian mereka. Kadang, di Jalan Cempaka yang sepi di tengah malam, terlihat beberapa pemain berjalan keluar dari rumah Riantiarno yang sekaligus adalah sanggar mereka. Mereka berasal dari berbagai kalangan, termasuk pedagang di pasar burung Jakarta Timur.

Koma, diartikan sebagai tanda baca, semoga seperti dikatakan Ratna Riantiarno yang selalu manis itu, tetap merupakan koma, bukan titik. Terus berjalan, mengisi ruang kebudayaan masyarakat urban, yang kian kering dan beratmosfer industrial.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar