Senin, 04 April 2011

JEDA - DIALOG AHMADIYA TAK PERNAH BERUJUNG

(Kanan-Kiri)
M.M Billah, Andy Yentriyani,
Yosep Adi Prasetyo, Batara
dalam Diskusi Publik
"Kekerasan Terhadap Ahmadiyah :
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan"
di Kantor LBHI, Jakarta, Selasa (22/3/2011)



Dialog Ahmadiyah Tak Pernah Berujung
Editor: Jodhi Yudono
Minggu, 3 April 2011 | 03:17 WIB



Oleh Edy Supriatna Sjafei

Dialog diyakini oleh bangsa Indonesia masih sebagai cara terbaik dalam menyelesaikan persoalan, bukan semata sesuai dengan nilai dan falsafah Pancasila tetapi juga sejalan dengan ajaran agama.

Sudah lama bangsa Indonesia mengedepankan dialog dalam menyelesaikan persoalan Ahmadiyah, yang dirasakan sebagai "duri dalam daging" bagi umat Islam. Namun, berbagai upaya belum juga membuahkan hasil.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Ahmadiyah yang menyebut sebagai paham Islam yang menyesatkan, melakukan penodaan dan penistaan agama, juga tak membawa pengaruh terhadap kehadiran Ahmadiyah.

Ormas Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) dan beberapa Ormas Islam lainnya sudah lama menyebut Ahmadiyah sebagai menyesatkan, juga tak menyelesaikan persoalan Ahmadiyah.

Justru yang mencuat kepermukaan adalah tindakan kekerasan dan anarkis bermunculan, disusul dengan keluarnya keputusan dari beberapa Pemerintah Daerah (Pemda) seperti di Jatim, Jabar dan Banten tentang larangan akivitas Ahmadiyah di daerahnya masing-masing.

Dengan demikian dialog tokoh agama dengan kalangan Ahmadiyah di beberapa daerah juga hasilnya nihil.

Kabar yang muncul justru tak menggembirakan, Ahmadiyah kehadirannya di tanah air seperti kerikil dalam sepatu.

Ahmadiyah yang mengaku sebagai Islam justru menyakiti umat Islam sendiri, lantaran masih mengakui nabi akhir zaman selain Muhammad SAW.

Selain itu, sejumlah ayat Al Quran pun "diplintir", diputarbalikan dan memegang kitab lain sebagai pegangan.

Ormas Islam pada sekitar lima tahun silam pernah meminta pihak berwajib menangkap pimpinan Alqiyadah Al Islamiyah, Ahmad Musadek, karena telah menyebarkan ajaran sesat dengan mengaku sebagai nabi dan rasul baru. Pihak berwajib cepat menyelesaikan kasus itu.

Saat itu, menurut pengacara Mahendradata, sebetulnya dengan pengakuan sebagai nabi dan rasul baru secara terbuka, patut Ahmad Musadek sudah melanggar pasal 156 KUHP tentang penodaan dan penyalahgunaan ajaran agama, dalam hal ini agama Islam.

Menurutnya, Ahmad Musadek bisa saja menyebarkan ajaran baru asalkan tidak mengaku dan membawa-bawa atribut Islam. "Seandainya Ahmad Musadek tidak mengaku Islam, tidak masalah,", katanya.

Kini, jika dibanding dengan kasus Ahmadiyah yang terang dan jelas melakukan penistaan, penodaan agama Islam sejak lama, pemerintah seolah sudah kehilangan "gigi".

Aturan hukum sudah jelas. Ditinjau dari aspek ajaran agama Islam pun, lebih tegas lagi karena nyata dan bukti ada.

Dialog lagi Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat berencana menggelar dialog bersama jemaah Ahmadiyah di kantor Kemenko Kesra, Jakarta.

Kemungkinan dialog akan digelar pekan depan. Saat ini pemerintah masih menggodok materi yang akan dibahas.

Esensinya, dari dialog yang akan diselenggarakan itu, tetap mencari masukan sebagai solusi dari persoalan Ahmadiyah yang sudah lama namun tak kunjung selesai.

Pokok bahasan tidak berbeda dengan pertemuan sebelumnya, tapi saling melengkapi, saling mengisi.

Pertemuannya mungkin minggu depan, kata Menko Kesra Agung Laksono kepada para wartawan di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (31/3/2011).

Jika dialog itu jadi dilaksanakan, maka ini merupakan dialog serupa yang diselenggarakan Kementerian Agama, di Gedung MH Thamrin Jakarta, selama empat hari.

Pertemuan tersebut akan dihadiri sejumlah tokoh agama dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto.

Dalam pertemuan ini pemerintah akan menggali masukan-masukan dari pihak jemaah Ahmadiyah dan tokoh agama.

Pentingnya dialog antara jemaah Ahmadiyah dan komunitas non-Ahmadiyah, menurut Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Bahtiar Effendy adalah semua pihak sepakat kekerasan dalam bentuk apa pun tidak bisa ditoleransi.

Oleh karena itu, harus dicegah dan pelakunya ditindak dengan undang-undang yang berlaku.

Tetapi tiadanya kekerasan juga bukan sasaran akhir. Sebab, cepat atau lambat akan ada pihak yang marah dan ada Ahmadiyah yang harus dijamin hak-haknya.

Lantas ia menyebut bahwa salah satu kelemahan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri dibuat tanpa melibatkan seluruh pihak yang terlibat.

Akibatnya, SKB itu tidak banyak dijalankan oleh pihak yang terlibat.

Dialog tentang Ahmadiyah yang melibatkan ormas-ormas Islam dan LSM melahirkan pergumulan pemikiran antara kebebasan beragama dengan penistaan agama.

Menurut mereka yang berpandangan kebebasan beragama, agama apapun keyakinan apapun wajib diberikan hak hidup sebebas-bebasnya.

"Sedangkan yang berpandangan penistaan agama berpendapat kebabasan beragama harus ada batasnya. Kebebasan tanpa batas cenderung menjadi penistaan agama," kata Menag kepada wartawan di sela acara dialog yang berlangsung di Gedung Kementerian Agama Jl. MH Thamrin Jakarta Pusat, Rabu (30/3).

Menag menyatakan, simbol-simbol agama tidak bisa dimaknai dengan sebebas-bebasnya.

Seperti Kasus Temanggung, katanya, dimulai dengan penghinaan terhadap simbol agama, dengan memberi persepsi yang salah tentang Hajar Aswad diartikan sebagai kelamin perempuan, dan Jamarat sebagai kelamin laki-laki.

"Jadi simbol agama jangan diartikan dengan persepsi yang salah. Setiap kebebasan pasti ada batasnya. Kebebasan memberikan persepsi terhadap sesuatu akan menganggu terhadap kerukunan umat beragama di Indonesia," tandas Suryadharma Ali.

Menurut Menag, dialog Ahmadiyah sekarang ini cukup berkembang dan berkeadilan dari berbagai sudut pandang semua pihak diundang.

Ada yang mengatakan ajaran Ahmadiyah tidak bertentangan dengan Islam seperti yang dianut LSM dan Ahmadiyah sedangkan ormas Islam seperti FUI dan FPI berpendapat ajaran Ahmadiyah bertentangan dan menodai Islam sehingga harus dibubarkan.

Namun, kata Menag, sangat disayangkan jika sampai akhir dialog Ahmadiyah JAI tidak mau datang.

"Jadi semua pandangan telah disampaikan dalam dialog selama 4 hari tersebut. Jadi dialog ini seimbang dan seluruhnya diakomodir," tegas Menag.

Seperti diketahui dialog Ahmadiyah digelar Kemenag sejak Selasa dan Rabu (22-23/3) yang dilanjutkan Selasa dan Rabu (29-30/3) di Kantor Kemenag jalan Thamrin. "Akan dibentuk tim perumus untuk menyimpulkan hasil dialog ini,".

Tim perumus nantinya akan merumuskan secara tuntas dan komprehensf hasil dialog. Jadi sampai sekarang belum ada kesimpulannya.

"Saya sendiri tidak akan mendahului kesimpulan hasil dialog," ujar Menteri Agama Suryadharma Ali.

Apa hasil dari dialog tersebut, umat Muslim masih menanti.

Apakah bubar atau Ahmadiyah tetap masih menjadi duri dalam daging bagi umat Islam. Semua masih menanti.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar